Jumat, 11 September 2009

IBNU RUSHDY

A. PENDAHULUAN
Mayoritas umat muslim diseluruh dunia apalagi di negara ini, menganggap telah cukup dengan hasil ijtihad para mujtahid terdahulu yang tertulis dalam kitab-kitab klasik. Mereka merasa takjub dengan pusaka peninggalan Islam yang lengkap serta amat percaya dengan ahli-ahli fiqh kita yang karismatik di zaman lampau, mereka berpendapat bahwa dewasa ini tidak lagi dibutuhkan ijtihad baru, sebab tiada masalahpun yang tertinggal dari pendapat-pendapat ulama terdahulu. Semua masalah yang kita jumpai sekarang hakikatnya bisa kita jumpai dalam kitab-kitab klasik yang telah didokumentasikan secara rapi. Bahwa dalam kitab-kitab tersebut telah memuat hal-hal yang diduga akan terjadi oleh para mujtahid terdahulu, sehingga apa yang terjadi sekarang sebenarnya telah tercover dalam kitab-kitab tersebut.
Memang harus kita akui bahwa nilai-nilai pusaka yang ditinggalkan para pendahulu kita sungguh luar biasa, terutama peninggalan dari abad kejayaan Islam, dimana perkembangan ilmu-ilmu keislaman mencapai tahap sempurna pada saat itu. Para ulama bisa menggapai dalam segala bidang ilmu, tidak hanya urusan akidah dan ibadah, namun mereka juga ahli di bidang filsafat dan sains, seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina. Sekalipun demikian, kitapun harus menyadari bahwa hasil ijtihad mereka itu terbatas pada masalah-masalah yang terjadi saat itu, kalau toh ada hasil ijtihad tentang hal-hal yang diprediksi bakal terjadi jumlahnya sangat terbatas, dan belum menyentuh masalah-masalah kontemporer yang terjadi dewasa ini.
Ingat….!!!! Zaman terus melaju Bung.. Perkembangan dan peradaban manusia terus berjalan, selama itu terjadi permasalahan tidak akan pernah pudar. Sebuah pencerahan bagi kita dengan lahirnya sosok yang karismatik, intelek, dan ilmuwan, yaitu al-Imam Ibnu Rushdi dikalangan orang-orang barat dikenal dengan sebutan Averrous. Karena peran besar beliaulah pada masa itu, filsafat plato, aristoteles, Phitagoras, ataupun Euclides dengan karya-karyanya masih tetap terpelihara sampai sekarang.

B. PEMBAHASAN
Adalah Ibnu Rushd seorang faqih, qadhi dan filsuf kenamaan yang di Barat dikenal dengan sebutan Averroes, Pemikiran beliau yang sering dikaji di kaum sarungan ‘’Pesantren’’ hanya-lah produk pemikiran fiqh-nya yang tertuang dalam kitab yang berjudul Bidayah al-Mujtahid. Para santri belum akrab dengan karya-karya beliau seperti Tahafut-tahafut al-Falasifah (kitab yang berisikan penyerangan terhadap pemikiran sang Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali yang tertuang dalam dua karya al-Ghazali yang bertitel Tahafut al-Falasifah dan Munqidz min al-Adhlalal), atau kitab Fash al-Maqal yang membahas tentang kesesuaian akal dan wahyu atau filsafat dan agama.
Dengan segala keterbatasan pemahaman yang saya dapatkan, sebenarnya saya kesulitan untuk menyibak sisi sosiologis beliau. Berbicara tentang Ibnu Rushd adalah berbicara tentang akal yang pernah ditolak oleh masyarakatnya, dan diterima oleh masyarakat lain yaitu dunia Barat. Sangat sulit memang untuk membahas secara sosiologis kegagalan pemikiran Ibnu Rushd dalam konteks Islam atau menyingkap sebab-sebab sosial yang mengakibatkan pemikiran Ibnu Rushd gagal dilingkungan Islam sendiri. Padahal menurut Hasan Hanafi pemikiran Ibnu Rushd adalah sebuah proyek besar yang ia persembahkan untuk masyarakatnya, yaitu masyarakat Islam.

1. Tempat lahir dan masa kecil
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ahmad ibnu Rusydi. Kunyahnya adalah Abu al-Walid dan laqabnya ialah al-Hafid. Ia berumur 75/72 tahun dilahirkan di kota Cordoba pada tahun 520 H/1126 M dan wafat pada tahun 595 H/ 1198 M di Marakisy. Dia adalah seorang ahli filsafat, matematika, kedokteran, dan fiqh. Ayahnya sebagai seorang ahli hukum yang taat beribadah dan cukup berpengaruh di Cordoba yang bermadzhab maliki, banyak pula saudaranya yang menduduki posisi penting di pemerintahan. Latar belakang keluarga tersebut sangat mempengaruhi proses pembentukan tingkat intelektualitasnya di kemudian hari.
Di lingkungan keluarga yang kondusif ini, beliau memanfaatkan seoptimal mungkin untuk kegiatan keilmuan, sehingga ia tidak pernah absen dari kegiatannya kecuali hanya dua malam. Pertama; ketika ayahnya meninggal, kedua; di malam pertama. Jadi, tidak heran apabila beliau sampai menjadi seorang tokoh yang disegani sekaligus kemahirannya dalam disiplin ilmu. Kemahirannya dalam bidang fiqh, ini tak lepas dari tangan dingin ayahnya sekaligus guru pertama yang telah mengenalkannya. Melalui ayahnya ini, beliau dapat menghapal kitab al-Muwattha’ karangan imam Malik.

2. Guru dan Rekan Sejawat
Seperti yang telah penulis uraikan di atas, bahwa guru yang pertama yang berperan dalam penddikan adalah ayahnya sendiri, yang telah mengenalkannya pada fiqh, selain itu adalah al-Hafizh Abu Muhammad ibn Rizq, Abu al-Qasim, Ibnu Basykuwal, Abu Marwan, Ibnu Masarrah, Abu Bakar ibn Samhun, Abu Ja’far ibn Abd al-Aziz dan Abdullah al-Ma’zari. Para ilmuwan selain beliau di masa tersebut adalah : Aziz al-Bahri (ahli dibidang geografi), Ibnu Bajah (ahli dibidang fisika, musik, dan komentator karya-karya Aristoteles), Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad al-Gafiqi (dibidang obat-obatan), Muhammad al-Mazini (ahli geografi), Ibnu Thufail (ahli filsafat dan kedokteran), Jabir ibn Aflah ibn Muhammad (ahli trigonometeri), dan Ibnu ‘Arabi (seorang tokoh sufi).

3. Sosio-histori, sosio-politik, sosio-ekonomi pada masanya
Sosio-History
Dalam kehidupannya, ahli sejarah telah menacatat bahwa beliau termasuk orang yang dekat dengan penguasa pada saat itu, berkat jasa baik sahabat karibnya yaitu Ibnu Thufail (W. 581H/1185M) yang telah memperkenalkan dirinya kepada penguasa, sehingga terjalin erat dengan kerajaan. Pada tahun 548 H/1153 M ia di panggil oleh khalifah Abd al-Mu’min ke Marakisy (ibu kota dinasti al-Muwahhidun) untuk memberikan sumbangan pemikiran pada lembaga pendidikan yang telah didirikan di sana. Setelah khalifah meninggal, tampuk kepemimpinan berpindah kepada putra agung yang bernama Yusuf Ibn Abd al-Mu’min, kemudian oleh Ibnu Thufail beliau diperkenalkan kepada penguasa ke-III dari dinasti al-Muwahhidun tersebut. Tak lama kemudian beliau mendapat kepercayaan sekaligus sebagai pengganti Ibnu Thufail sebagai dokter kerajaan karena termakan usia yang semakin senja.
Berawal dari hubungan pemikiranya dengan kebijakan al-Muwakhidun ini, Ibnu Rushd dijadikan tempat rujukan persoalan keagamaan masyarakatnya. Perlu diingat bahwa kenyataan yang sangat menentukan hubungan erat antara Ibnu Rushd dengan penguasa ini adalah tertumpu pada persoalan landasan ideologi dan pemikiran, karena pijakan dasar ideologi pemerintahan al-Muwahhidun tersumber dari pesan keagamaan yang mengembangkan bentuk filosofis. Pandangan ini merupakan hasil gagasan pendirinya Muhammad Bin Toumert yang membangun akidah negara berdasarkan korelasi antara wahyu dan akal, jargon yang digulirkan untuk mengembangkan landasan akidah itu adalah “Meninggalkan taklid dan kembali pada ushul”, hal inilah yang kemudian menjadi kontribusi besar bagi pribadi Ibnu Rushd dalam merekonstruksi pemikiran filsafat melalui proyek pembacaan kembali kepada ushul filsafat, terutama filsafat Ariestoteles.
Kepercayaan khalifah ke-III ini semakin kuat terbukti dengan diangkatnya Ibnu Rushd sebagai hakim di Sevilla (565H/1169M), berselang dua tahun kemudian beliau diangkat sebagai hakim di kota kelahirannya, yaitu Kordoba. Di kota inilah akhirnya Ibnu Rushd bisa menyelesaikan buku-buku karangannya, antara lain mengenai kalam dan penafsiran buku-buku Aristoteles. Tak lama setelah beliau di angkat menjadi hakim, khalifah Yusuf meninggal dan digantikan oleh putranya bernama Ya’qub al-Manshur Billah, yang pada awal kepemimpinannya melakukan hal serupa dengan ayahnya, bahkan seringkali berdialog seputar pemikiran filsafat sehingga Ibnu Rushd tidak segan mengatakan “dengarkan hai saudaraku….”. Kedekatan inipun membuat gerah pribadi Ibnu Rushd dari kecurigaan orang-orang yang membencinya, khususnya para fuqaha konservatif yang menentang tulisan-tulisan beliau yang lebih mendukung kepada ajaran filsafat. Sehingga Ibnu Rushd mengungkapkan bahwa “Sesungguhnya Amir al-Mukminin lebih banyak mendekatiku ketimbang aku mengharapkanya”. Kedengkian para fuqaha atas ketidak berdayaannya memahami pemikiran Ibnu Rushd, maka disaat mereka mampu mendekati khalifah al-Manshur, mereka berhasil mempengaruhi format negara yang semula bebas mengembangkan logika dan berusaha memadukan antara filsafaat dan wahyu, berubah menjadi berbalik menyerang yang langsung dikomandai oleh al-Manshur sendiri, lewat resolusi penguasa ini terjadilah pembakaran karya-karya Ibnu Rushd, selain itu, setelah penghakiman Ibnu Rushd secara terbuka di masjid agung Cordoba yang dihadiri para fuqaha dan jajaran pejabat serta masyarakat Maghrib.
Namun menurut hemat penulis, faktor pengasingan tersebut antara lain disebabkan adanya rasa cemberu kepada Ibnu Rushd karena selalu mendapatkan kedudukan tertinggi disisi khalifah, pembelaannya terhadap pengembangan ilmu filsafat, dan juga disamping faktor-faktor yang lain. Pengasingan beliau tidak berlangsung lama, karena khalifah memohon kepadanya untuk kembali ke Marakisy, kemudian tidak berlangsung lama juga di kota inilah beliau wafat (595H/1198M).

a. Sosio-Politik
Ibnu Rushd hidup dalam dua dinasti, yaitu dinasti Murabithun dan al-Muwahhidun. Kedua dinasti ini bermula dari gerakan keagamaan yang berubah menjadi politik. Untuk memperebutkan kekuasaaan, tak pelak kedua dinasti sering mengadu kekuatan militer, baik dari kalangan muslim sendiri maupun non-muslim. Dinasti al-Murabithun dipimpin oleh seorang tokoh spritual; Abdullah ibn Yasin, dengan seorang komandan militer bernama Yahya ibn Umar. Mereka dapat menaklukkan suku Sanhajah dan suku-suku di Sahara sampai ke Wadi Dar’ah, selain itu juga berhasil menaklukkan Sijilmasah pada tahun 447H/1055M.
Setelah Yahya ibn Umar wafat, komando militer dilanjutkan oleh adiknya; Abu Bakar ibn Umar, dan berhasil menaklukkan suku Barghawata sampai ke Laut Antlantik pada tahun 451H/1059M. Setelah itu tampuk kepemimpinan diserahkan kepada Yusuf ibn Tasyfin, ia berhasil menempatkan pusat pemerintahan di Marakisy. Setelah ia meninggal digantikan oleh putranya; Ali ibn Yusuf suatu imperium yang sangat luas termasuk Andalus. Pada tahun 522H/1129M dinasti al-Murabithun mengalami kekalahan di Cuhera, ditambah dengan pemberontakan dinasti al-Muwahhidun pada tahun 541H/1147M yang dipimpin oleh Abd al-Mu’min. setelah itu ia memperluas wilayah kekuasaannya jauh ke wilayah Timur. Tahun 547H/1152M Aljazair direbut, tahun 553H/1158M giliran Tunisia, dan dua tahun setelah itu Tripoli juga jatuh dalam genggamannya. Jadi, selama era Ibnu Rushd hidup gejolak politik tidak begitu kondusif atau stabil, selalu diliputi dengan peperangan/jihad untuk melawan orang-orang Kristen, disamping juga peperangan yang terjadi di antara umat muslim sendiri.
Kondisi inilah yang menambah semangat Ibnu Rushd berjihad melawan kebodohan, sehingga ia termotivasi untuk memperdalam berbagai disiplin ilmu.

b. Sosio-Ekonomi
Masyarakat Andalus adalah masyarakat heterogen, terdiri dari bermacam-macam suku. Mayoritas penduduk Andalus di masa Islam terdiri dari suku Arab, Barbar, dan Spanyol (sebagian beragama Islam, yang lain tetap beragama Yahudi dan Nasrani). Di sisi lain, Andalus memiliki sumber daya alam yang sangat potensial, terdapat tambang emas, perak, besi, dan timah yang melimpah. Keanekaragaman warga dan kekayaannya merupakan modal besar dalam membangun masyarakat, sehingga mereka mempunyai peradaban yang lebih maju dibanding daerah-daerah yang lain.
Dinasti al-Murabithun, dibawah komando Yusuf ibn Tasyfin, Andalus telah mencapai kemajuan yang pesat dibidang kebudayaan, perdagangan dan kesusastraan. Yang selanjutnya mampu membangun bangunan fisik seperti masjid agung Marakisy. Pembangunan di Andalus semakin maju pada pemerintahan al-Muwahhidun, terbukti dengan banyaknya perkantoran dan masjid. Baru pada abad VI H/XII M di Andalus telah didirikan pabrik kertas tulis, yang kemudian berkembang di Eropa, sebagai salah satu sumbangan Islam yang berharga dalam bidang grafika.
Kondisi demikian, sangat berpengaruh pada intelektualitas Ibnu Rushd yang hidup pada zaman yang telah maju peradabannya. Sehingga dalam memutuskan sebuah hukum, tak jarang ia selalu membandingkan pendapat-pendapat ulama terdahulu.

4. Fiqh Ibnu Rushd
Ibnu Rushd bukan hanya dikenal dalam bidang filasat maupun kedokteran, namun juga telah melahirkan beberapa karya fiqh, yang bernama Bidayah al-Mujtahid. Sayangnya sebagai kaum pesantren kita jarang membukanya apalagi menelaah. Dalam penulisan kitab tersebut, Ibnu Rushd menggunakan metode diskriptif, dengan mendiskripsikan pendapat-pendapat fuqaha’, baik yang telah disepakati maupun yang masih dipersilisihkan. Terhadap permasalahan yang masih dipersilisihkan, biasanya Ibnu Rushd memberikan komentar, baik secara ringkas, sederhana, maupun secara panjang lebar. Komentar-komentar itu berisi sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha berikut dasar-dasar yang mereka pegang. Setelah itu, kadang beliau juga mengemukakan pendapatnya dengan membandingkan pendapat-pendapat fuqaha, kemudian menguatkan salah satu di antara pendapat-pendapat tersebut.
Sesungguhnya metode dan karakter Ibnu Rushd dalam menyelesaikan sebuah kasus, patut kita tindak lanjuti sebagai langkah maju untuk menganalisa mana pendapat-pendapat di antara fuqaha yang paling rajih dan juga patut diterapkan pada saat ini. Di mana kita seringkali mengebiri maupun memperkosa dengan memaksakan bahwa pendapat tersebut cocok atau sesuai untuk diterapkan, padahal belum tentu dan kita patut untuk menganalisa terlebih dahulu karena apa yang kita miliki paling tidak sudah dianggap cukup untuk diaplikasikan.
Langkah ini lahir bukan dari ruang hampa, beliau melihat kecendrungan ulama pada masa itu terlalu memanjakan umatnya. Dengan hanya bermodalkan ta’liqat, men-syarahi kitab-kitab, dan penulisan catatan pinggir (hawasyi). Seharusnya umat diajarkan bagaimana menyelesaikan sebuah permasalahan dengan metode yang telah banyak dicetuskan oleh ulama-ulama madzhab. Sehingga penurunan kualitas keilmuan ini dianggap oleh beliau sebagai biang kerok kemunduran umat untuk selalu berfikir objektif, kreatif, dan inovatif.

5. Penyebaran Madzhab Ibnu Rushdy
Kehidupan rasional dalam tradisi pemikiran Islam mengalami proses pasang surut, setelah Ibnu Rushd meninggal dunia adalah merupakan titik kelemahan dinamika kreasi dan orisinalitas kesinambungan pemikiran Islam. Padahal sebelumnya, dalam beberapa dekade sejarah pemikiran Islam mengukir sejarah gemilang. Sameh Zaen menunjukan bahwa pasca meniggalnya Ibnu Rushd merupakan akhir redupnya kobaran pemikiran kreatif yang telah menyinari dunia Islam dalam beberapa abad.
Banyak kalangan menunjukan bahwa kegagalan pemikiran Ibnu Rushd sangat disebabkan oleh peran ideologi yang dimainkan oleh para fuqaha Maliki yang ada diseluruh barat Islam (Maghrib-Andalusia) ditambah dengan pembakaran hasil karya-karyanya, karena sejak kepandainnya dalam bidang filsafat dan sikap keterbukaannya telah mengantarkan pada posisi penting dalam pemerintahan al-Muwahhidun, tepatnya pada masa kerajaan Abu Ya’qub bin Abdul Mukmin bin Ali, berkat jasa baik sahabat karibnya Ibnu Thufail.
Adalah merupakan kenyataan sejarah bahwa pluralitas akidah dan aliran Fiqh dalam daratan Masyriq tidak berpengaruh dalam daratan Maghrib yang mayoritas beraliran Maliki. Selain dari pada itu, mayoritas masyarakat Maghrib yang barbarian masih menjadi penghalang kemajuan Andalusia, walaupun kita mengetahui bahwa penguasa-penguasa al-Muwahhidun mendorong keilmuan para sarjananya.
Dari hal diatas, kita dapat memahami kegagalan pemikiran Ibnu Rushd dari segi sosiologis, yang menurut Muhammad Arkon dapat dipusatkan pada satu faktor yaitu sedikitnya jumlah cendekiawan yang mengetahui baca tulis dalam bahasa Arab. karena pada saat itu, mayoritas terbesar penduduk Maghrib adalah barbarian, yang sudah tentu, alat komunikasi yang digunakanya adalah bahasa barbar.
Untuk mempertegas hal itu, menurut Arkoun bahwa penguasa-penguasa al-Murabithun (pemerintahan sebelum al-Muwahhidun) dan pemimpin thariqah-thariqah sufi hampir seluruhnya dari masyarakat Barbar. Maka jelas, mereka yang telah menyebarkan Islam dengan jalan penggunaan “budaya oral”, fenomena sosio-kultur dan bahasa inilah yang telah meluas dalam sepanjang sejarahnya.
Pada konteks yang sama, tragedi yang menimpa Ibnu Rushd disebabkan oleh faktor politik, menurut Dr. Muhammad ‘Abied al-Ghabirie faktor ini adalah penyebab utama atas tragedi yang menimpa Ibnu Rushd. Karyanya “al-Dharuri Fi al-Siyasah” merupakan bukti kuat atas pandangan Ghabirie, karena menurutnya karya itu ditulis ketika al-Muwahhidun pada masa kerajaan al-Manshur dalam keadaan krisis. Maka dapat disimpulkan bahwa karya itu ditulis sebagi usaha Ibnu Rushd dalam melakukan “reformasi politik” (al-Ishlah al-Siyasi), diskurkus yang digulirkanya dalam karya itu tidak tertuju pada kondisi politik Islam secara umum, namun yang lebih penting adalah perhatianya terhadap realitas Andalusia, realitas bangsanya sendiri. Maka dalam karya ini Ibnu Rushd sengaja mengkritik kondisi kediktatoran penguasa dan pandangan-pandangan para Fuqaha yang menurutnya merupakan sebab utama hilangnya pemikiran Islam dan keredupan cahayanya, karena saat itu, mereka adalah jumlah yang terbesar yang tersebar dikota Andalusia dan dunia Islam.
Dalam keadaan yang demikian, pantas untuk dikata bahwa Ibnu Rushd adalah akal yang ditolak oleh budaya Islam, tersingkir dari sentral pemerintahan atas nama Islam yang dikuasai oleh diskursus Ghozali-Asy’ari.
Adalah merupakan kenyataan sejarah yang sulit dibantah bahwa setiap penggalan sejarah manusia atau masyarakat manapun selalu ada pertentangan dan perseteruan antara berbagai aliran pemikiran atau sudut pandang, namun buru-buru yang harus menjadi perhatian bahwa dalam dunia Islam, sikap yang berkembang dalam menyikapi pertentangan pemikiran itu selalu saja memenangkan sebuah pemikiran dan memarginalkan pemikiran lain, walaupun hakekatnya kewibawaan suatu pemikiran tidak berarti menghilangkan secara utuh pemikiran yang lain, namun tanpa dapat dipungkiri dibalik itu ada akibat yang muncul bahwa pemikiran yang lain tidak dapat diterima dalam pentas pemikiran dan kejadian.

C. Kesimpulan
Kebesaran Ibnu Rushd sebagai seorang pemikir sangat dipengaruhi oleh zeitgeist atau jiwa pada zamannya. Abad ke-12 dan beberapa abad sebelumnya merupakan zaman keemasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Dunia Islam, yang berpusat di Semenanjung Andalusia (Spanyol). Para penguasa muslim pada masa itu mendukung sekali perkembangan ilmu pengetahuan, bahkan mereka sering memerintahkan para ilmuwan untuk menggali kembali warisan intelektual Yunani yang masih tersisa, sehingga nama-nama ilmuwan besar Yunani seperti Aristoteles, Plato, Phitagoras, ataupun Euclides dengan karya-karyanya masih tetap terpelihara sampai sekarang.
Liku-liku perjalanan hidup pemikir besar ini sangatlah menarik. Ibnu Rushd dapat digolongkan sebagai seorang ilmuwan yang komplit. Selain sebagai seorang ahli filsafat, ia juga dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang kedokteran, sastra, logika, ilmu-ilmu pasti, di samping sangat menguasai pula pengetahuan keislaman, khususnya dalam tafsir al-Qur’an dan Hadis ataupun dalam bidang hukum dan fikih. Bahkan karya terbesarnya dalam bidang kedokteran, yaitu al-Kulliyat fi at-Tibb atau (Hal-Hal yang Umum tentang Ilmu Pengobatan) telah menjadi rujukan utama dalam bidang kedokteran
Hal terpenting dari kiprah Ibnu Rushd dalam bidang ilmu pengetahuan adalah usahanya untuk menerjemahkan dan melengkapi karya-karya pemikir Yunani, terutama karya Aristoteles dan Plato, yang mempunyai pengaruh selama berabad-abad lamanya. Antara tahun 1169-1195, Ibnu Rushd menulis satu segi komentar terhadap karya-karya Aristoteles, seperti De Organon, De Anima, Phiysica, Metaphisica, De Partibus Animalia, Parna Naturalisi, Metodologica, Rhetorica, dan Nichomachean Ethick. Semua komentarnya tergabung dalam sebuah versi Latin melengkapi karya Aristoteles. Komentar-komentarnya sangat berpengaruh terhadap pembentukan tradisi intelektual kaum Yahudi dan Nasrani.
Terakhir... “ketika selesai sebuah perkara maka akan nampak jelaslah kekurangannya”, karena itu saya sadar sepenuhnya bahwa makalah ini masih terlalu jauh dari memuaskan, mungkin masih banyak sekali hal-hal yang terkait dengan sejarah Ibnu Rushd yang belum mampu penulis sajikan. Namun, saya tidak akan minta kritik apapun, sekali lagi saya tidak akan minta kritik apapun yang konstruktif sekalipun. Saya ngeri mendengarnya, terima sajalah permintaan maaf saya. Sekian, semoga bermanfaat.
Waallahu a’lam…………………………………………………………………………………..
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

 
Copyright © Begundal_Lokajaya