Jumat, 11 September 2009

الاِعتدال في الدعوة

A. PENDAHULUAN
Secara bahasa, dakwah berasal dari padanan kata da’a-yuda’i-du’a'an wa da’watan. Dalam al-Qur’an istilah dakwah disebutkan kurang lebih sebanyak sepuluh kali dengan berbagai arti yang berbeda; ajakan, seruan, pembuktian dan doa. dalam makna sempit, dakwah berarti tugas untuk menyampaikan dan mengajarkan ajaran Islam pada yang lain agar nilai-nilai Islam terwujud dalam kehidupan manusia.
Menekankan dakwah dalam arti mempromosikan dan menjajakan keyakinan dalam ruang formal-legal, terang saja akan mengakibatkan fragmentasi sosial antara umat beragama benar-benar terjadi. Islam, juga agama lain, akan saling bersitegang dalam memperebutkan penganut dan berlomba-lomba dalam memperbanyak jumlah pengikut (dakwah kuantitatif). Karena kepentingan dakwah Islam pada akhirnya berbenturan dengan propaganda agama lain dengan maksud yang tak jauh berbeda.
Akibatnya, dakwah yang semula bersifat pilihan alternatif (ikhtiyari) berubah bentuk menjadi paksaan mutlak (ijbari) dengan menghalalkan segala cara, termasuk kekerasan, teror, dan bahkan memerangi demi menegakkan tujuan dakwah yang dimaksud. Tujuan dakwah dalam upaya mewujudkan kebenaran, dengan tragis dan penuh eksploitasi mengabaikan kebenaran lainnya.
Dakwah adalah kewajiban setiap umat Islam, untuk saling mengingatkan dan mengajak sesamanya dalam rangka menegakkan kebenaran (konteks iman/teologis) dan kesabaran (konteks amal/sosiologis). Inilah kenapa umat Islam selanjutnya disebut sebagai pewaris para nabi, waratsatul anbiya’. Nabi yang berasal dari kata naba-a tiada lain bermakna penebar risalah Tuhan.
Tujuan dakwah bukanlah untuk memaksakan kehendak, mengislamkan yang lain maupun untuk mempersatukan umat manusia, apalagi untuk memperbanyak pengikut. Jika dakwah berarti demikian, niscaya Nabi Nuh as yang diberi usia 950 tahun dalam menggencarkan risalah dakwahnya tidak layak diberi penghargaan. Sebab, dalam kurun yang sangat panjang itu beliau hanya mampu mengajak manusia seisi penumpang sebuah kapal laut. Kenyataannya beliau tetap dianggap orang istimewa oleh Allah SWT.

B. PEMBAHASAN
Sebelum kita membahas lebih jauh, alangkah baiknya kita mengetahui makna dari kalimat-kalimat di atas. I’tidaal artinya adalah tegak lurus, tidak condong ke kanan atau kiri. Kata ini diambil dari al-adlu yang berarti keadilan atau I’dilu atau bersikap adillah. I’tidaal, yang berarti tegak lurus dalam mengambil suatu keputusan, mengandung arti bahwa dalam menyikapi setiap permasalahan selalu bersikap adil dan tidak akan terpengaruh dengan unsur-unsur ketidak-benaran. Seperti firman Allah:
Artinya.. “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

1. Ruang Lingkup Dakwah Para Utusan
Sebagaimana telah kita ketahui, ruang lingkup ini juga sebagai karakter diri para utusan yang selalu mengedepankan tentang ketuhanan maupun esensi ajarannya. Karena pada diri rasul, perbuatannya yang merupakan li at-tasyri’ (mengajarkan tentang syariat) akan memberikan informasi bagaimana para utusan tersebut seharusnya berperilaku. Sehingga perbuatan mereka tidak jauh dari perbuatan wajib, sunnah, dan mubah.
Para utusan disamping menerima informasi untuk dirinya sendiri, namun juga diperuntukkan bagi umatnya. Dalam hal ini para utusan, mempunyai kewajiban menyampaikan apa-apa yang telah diinformasikan kepadanya, baik melalui mimpi maupun lantaran para malaikat. Ruang lingkup dakwah mereka antara lain:
a). Mengetahui Allah
Dalam hal ini, para utusan dapat mengenalkan Allah (معرفة الله) kepada para umatnya melalui nama-nama Allah dan sifat-sifatnya. Sehingga para umatnya selalu mempunyai bentuk kesadaran dalam setiap bentuk ibadahnya, dan seakan-akan dia selalu dapat melihatnya. Sebagaimana hadis Rasulillah:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لاَ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Artinya.. “Menyembahlah kepada Allah seakan-akan kamu melihatnya, jika tidak maka sesungguhnya Allah akan melihatmu..”

b). Mengetahui syari’atnya

c). Mengetahui pahala bagi orang-orang yang taat dan siksaan bagi orang-orang yang melanggar perintahnya.
Hubungan tiga komponen ini, akan memberikan gambaran kepada umatnya, bahwa kebenaran yang sesungguhnya sesuatu yang telah dibawa oleh para utusan untuk disampaikan kepada umatnya. Sehingga individu atau kelompok tidak seenaknya mengatakan; bahwa “ajaran inilah yang paling benar”. Dengan demikian, sekat-sekat kemurnian ajaran Islam bisa kita ketahui dan bisa memisahkan antara yang hak dan yang bathil. Karena tujuan dari bersikap I’tidal adalah mengetahui kebenaran yang murni dari ajaran Islam.

2. Dakwah dengan cara Keras atau Menyejukkan
Makna “keras” mencakup beberapa hal, baik dari aspek maupun bentuknya. Yaitu berupa intonasi suara yang kasar dalam dakwah bi al-lisan, pilihan kata-kata yang nyelekit dalam tulisan atau dakwah bi al-risalah ataupun dalam manifestasi tindakan yang terkesan “anarkis” dalam dakwah bi al-hal.
Demikian pula makna “menyejukkan” mencakup intonasi ucapan yang lembut, pilihan kata yang terkesan, indah dan menyentuh hati, materi dakwah yang tidak cendrung memvonis dan tindakan amr bi al-ma’ruf atau nahi al-munkar baik dalam dakwah bi al-lisan, bi al-hal, ataupun bi ar-risalah.
Yang di maksud keras di sini, penulis cenderung kepada “tindakan tegas”, baik dalam dakwah bi al-hal, bi al-lisan, dan bi al-risalah. Di dalam al-Qur’an sendiri maupun hadis, tidak ada kata-kata kekerasan apalagi dalam menyebarkan ajaran Islam. Karena Islam sendiri diturunkan untuk menyayangi isi seluruh alam semesta. Ketegasan di dalam al-Qur’an dicontohkan dalam QS. Al-Fath; 29.
Ada sebuah ayat yang menunjukkan “sikap keras”, namun arahan ayat ini terhadap orang kafir dan berlemah lembut terhadap orang mukmin. “sikap keras” ini, oleh al-Shabuni dijelaskan:
Keras terhadap orang-orang yang menentang Islam yang demikian itu karena memang sudah diperintahkan Allah kepada mereka, begitu kerasnya sehingga orang-orang mukmin itu menjaga diri dari busana mereka bahkan enggan menyentuh badan mereka.
Jadi, keras dalam dakwah berarti bertindak tegas terhadap orang-orang yang menentang Islam, menghalangi perkembangannya, atau bahkan dibunuh. Metode dakwah dengan “keras” dapat dilakukan, dengan rambu-rambu sebagai berikut: a). Untuk mencegah kemungkaran, dan b). Dakwah Islam dihalangi
Prinsip dakwah menyejukkan pernah dilakukan oleh Rasulillah tatkala sebelum hijrah, beliau tidak pernah menyeru pada umatnya dengan panggilan “orang-orang kafir, musyrik, atau munafik. Melainkan dengan seruan yang sama dengan dirinya, yaitu: “yaa ayyuha an-nas, yaa qaumi, atau yaa ayyuha al-ladzina amanu. Akan tetapi setelah sekian lama berdakwah dengan cara yang lembut mereka tolak, bahkan Rasulillah hampir saja terbunuh oleh perbuatan mereka. Baru Rasulillah menyeru dengan kata-kata tegas dan lantang “hai orang-orang kafir..”. Prinsip dakwah menyejukkan, antara lain ialah:
1). Mencari titik temu atau sisi kesamaan
2). Menggembirakan sebelum menakui-nakuti
3). Memudahkan tidak mempersulit
4). Memperhatikan penahapan beban dan hukum
5). Memperhatikan psikologi mad’u
Menyejukkan tidak lain adalah memberikan nasehat dan menyampaikan kebajikan dengan metodologi yang indah dan menawan, sehingga menorehkan bekas yang kuat, membukakan hati, dan melapangkan dada. Sehingga dakwah bisa diterima dari semua kalangan dan bisa berjalan secara optimal.
Sikap tegas dan keras adalah dua kata yang berbeda makna tujuannya, karena dari dua kata tersebut akan tampak konsekwensi masing-masing. Sikap tegas akan memberikan pembelajaran dan kepahaman kepada seseorang, bahwa tindakan yang dia lakukan telah menyimpang dari ajaran sebenarnya. Dengan bersikap demikian orang akan cendrung menerimanya dan tidak bersikap acuh tak acuh. Berbeda halnya kalau kita melakukan dakwah dengan cara keras, orang akan cendrung tidak menerima dan biasanya akan berujung pada sikap anarkis, deskriminatif, dan berlatar belakang nafsu bukan berdasarkan murni ajaran Islam. Bersikap keras dalam berdakwah, jelas tidak sesuai dengan sikap yang selama ini telah diusung oleh Islam, yaitu; bersikap I’tidal.

3. Tasamuh, Tawazun, dan Tawassuth dalam Berdakwah
Tasamuh, tawazun, dan tawassuth merupakan kata-kata yang tidak asing lagi kita dengar. Di dalam setiap seremonial maupun acara-acara keagamaan sering kali kata tersebut diungkapkan, baik bagi kalangan umum apalagi bagi warga nahdliyyin. Namun apa makna kalimat di atas?? Penulis ingin sedikit memberikan gambaran, paling tidak sebagai jenjang untuk memahaminya.

a). Tasammuh
Merupakan kosa kata Arab yang bermakna sama-sama berlaku baik, lemah lembut, dan saling memaafkan. Atau disebut dengan “tolerance”, bermakna lapang dada, sabar, tahan, dan dapat menerima. Tasammuh dalam pengertian umum adalah suatu sikap akhlak terpuji dalam pergaulan di mana rasa saling menghargai antara sesama manusia dalam batas-batas yang telah digariskan Islam.
Dalam berinteraksi, tasammuh dibagi menjadi dua:
1). Tasammuh antar sesama muslim. Seperti saling tolong-menolong, menghargai, sayang-menyayangi, dan menjauhkan rasa curiga.
2). Tasammuh terhadap non-muslim. Seperti saling menghargai hak-hak mereka sebagai manusia dan sebagai sesama anggota masyarakat dalam berbangsa.
Toleran yang berarti membiarkan atau tidak memaksa suatu budaya apalagi menyangkut tentang ideolgi, merupakan sebuah kepahaman yang mendalam dari ajaran Islam. Jadi, sikap menghargai pluralisme adalah sikap yang natural, logis dan merupakan bagian dari perwujudan tingkat kedewasaan seseorang dalam menerima kenyataan sejarah. Ajaran Islam sendiri membenarkan dalam keberagaman dan perbedaan.
Maka, dengan keberagaman tersebut, Allah memberikan kesempatan kepada kita semua untuk menguji keimanan yang kita pilih. Kemerdekaan dalam ajaran Islam telah menjadi sebuah prinsip ajarannya. Mengaplikasikan ajaran demikian, akan menjadikan penganutnya tidak akan memaksakan keyakinannya pada orang lain, sehingga ia tidak merasa terbebani. Perbedaan ini akan terus lahir dan berkelanjutan dalam segala aspek kehidupan. Namun bila kita sadari akan menjadi sebuah rahmat dalam kehidupan dengan rasa saling menghormati.
b). Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak berlebihan sesuatu unsur atau kekurangan unsur lain. Sebagaimana dalam al-Qur’an:
Artinya... “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”

Sikap tawazun ini muncul ketika menghadapi sebuah problematika kehidupan, di waktu umat muslim dalam melaksanakan amaliah dan ajarannya, ia tidak akan sepi dari perbedaan, baik itu lahir dari kalangan sendiri maupun pihak lain. Ini tidak lain adalah pengejawantahan dari sebuah prinsip yang mereka anut dan mereka yakini. Sikap ini sangat diperlukan dalam menyikapi berbagai persoalan, yakni tidak tafrith atau ifrath dalam melakukan sikap ekstrim, baik kiri maupun kanan.
Solusi yang dapat dicapai dalam mengaplikasikan sikap ini adalah mencari titik temu dalam menghadapi masalah. Kegagalan mencari titik temu merupakan awal dari kegagalan berdakwah, mencari titik temu dalam berdakwah merupakan kunci keberlangsungan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah. Kita harus bisa mencari kalimatun sawa’ dalam mensikapi perbedaan keduanya.
Sikap ini telah dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW dalam berbagai dakwahnya. Dikala beliau mensikapi dan mencari titik temu antara kaun Nasrani dalam mempertahankan ideologinya meskipun mereka tahu kebenaran risalah yang telah Nabi emban. Di mana hakikat kedua agama ini, sama-sama berasal dari Allah. Sehingga Nabi mencari jalan tengah dalam menyikapinya karena misi dan visi yang mereka emban adalah sama, yaitu bertauhid, li I’lai kalimatillah, dan tidak berbuat musyrik kepada Allah.
c). Tawassuth
Tawassuth, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk sikap tatharruf (ekstrim), baik dalam bidang agama maupun politik, karena sikap tersebut mengarah pada kekerasan dan disintegrasi. Pengertian tawassuth bukanlah serba kompromistis dengan mencampuradukkan semua unsur (sinkretisme). Demikian pula bukan mengucilkan diri dengan menolak pertemuan dengan unsur apapun.
Memang sejak semula, Islam lahir dengan membawa segala kebaikan dan itu pasti berada di dua ujung, yakni tatharruf (sifat mengujung dan ekstremisme). Sikap ini perlu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, agar sikap serta tingkah laku umat Islam selalu menjadi saksi dan pengukur kebenaran bagi semua sikap dan tingkah laku manusia pada umumnya.
Manifestasi prinsip tawassuth ini, telah tercermin dalam beberapa bidang. Antara lain: 1). Pada bidang akidah, 2). Pada bidang syari’ah, 3). Pada bidang mu’asyarah (pergaulan) antar golongan, 4). Pada bidang kehidupan bernegara, 5). Pada bidang kebudayaan, dan 6). Pada bidang dakwah
Sikap-sikap yang penulis sebutkan di atas haruslah benar-benar diterapkan dalam berinteraksi sosial, karena ketiga sikap tersebut akan menjauhkan kita semua dari sifat eksklusif (i’tizal).

4. Bahaya Mengkafirkan Seorang Muslim
Semakin banyaknya aliran yang masuk ke negeri ini, semakin banyak pulalah pemahaman yang berkembang. Kita tahu, bahwa dalam keberagaman kehidupan ini akan semakin tampak perbedaan. Namun yang harus kita sadari, kebenaran adalah mutlak milik Allah semata. Mengatakan “kafir” terhadap sesama muslim merupakan hal yang telah dilarang oleh Rasulillah, sebagaimana beliau bersabda:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُحَدِّثُ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَى الآخَرِ »
Artinya.. Rasulillah bersabda “jika seseorang memangil pada kawannya “hai kafir...” maka sungguh telah terkena salah satu. Kalau yang dikatakan memang demikian, apabila tidak demikian maka akan kembali pada orang lain.

Hadis di atas menegaskan, bahwa menghukumi seorang muslim sebagai orang kafir adalah suatu tindakan yang membawa kebinasaan tanpa pahala yang diharapkan darinya, dan ini bukan tugas dan kewajiban syari’ah yang dibebankan kepada setiap pribadi. Para nabi tidak dibenarkan menghukum seseorang kecuali apa yang tampak (zahir) apalagi kita sebagai umatnya.
Oleh karenanya, siapa yang menghukum diluar dari apa yang tampak dengan alasan bahwa apa yang mereka tampakkan itu baru kemungkinan saja bukan yang sesungguhnya, maka dia telah menyalahi al-Qur’an dan hadis. Dan ini jelas-jelas telah keluar dari kebenaran yang murni (bersikap i’tidal) dari ajaran Islam.

5. Dialog dalam Berdakwah
Diibaratkan ada sebuah sungai, dialog adalah jembatannya (tali penghubung). Sehingga satu sisi dengan sisi yang lain bisa dipertemukan. Bilamana antara da’I dan mad’u terjadi perbedaan maka dialog sangat dibutuhkan untuk mencari sisi perbedaan dan kesamaan, yang pada akhirnya tercapai sebuah solusi.
Antara dialog dan debat merupakan dua sisi yang berbeda. Biasanya dalam perdebatan akan terjadi perseteruan, meski hanya perseteruan pada lisan. Perdebatan senantiasa bermuara pada permusuhan yang diwarnai oleh fanatisme terhadap pendapatnya masing-masing pihak dengan merendahkan pendapat pihak lain. Sedangkan dialog yang dalam redaksi al-Qur’an menggunakan lafad “al-hiwar” dan disebut sebanyak 7 kali di dalam al-Qur’an.
Dalam berinteraksi social, manusia selalu dihadapkan pada warna-warni sosial, yang kadangkala apabila disikapi secara berlebihan ataupun berbeda pandangan, maka akan terjadi benturan yang mengakibatkan sebuah konflik sosial. Sebagai sunnatullah, lagi-lagi da’I selalu dihadapkan pada kompleksitas manusia. Oleh karenanya, perbedaan harus disikapi secara arif dan bijaksana.

C. KESIMPULAN
Dakwah Islam mesti disampaikan dengan cara yang bijaksana (hikmah), komunikatif (maw’idhah hasanah), dan dialogis (jadal). Menurut Yusuf Qardlawi (2002), hikmah berarti rasional sesuai tuntutan akal dan bukti empiris; maw’idlah bermakna penuh pertimbangan etika dan kesantunan; serta jadal menunjuk pentingnya dialog antariman dengan cara-cara yang baik, terpuji, dan elegan tanpa dibarengi prasangka, permusuhan, kedengkian, penindasan, diskriminatif, memarginalkan maupun mengkafirkan.
Itu semua dibentuk dengan adanya prinsip tasammuh, tawazun, dan tawassuth dalam segala aktifitas. Tawassuth adalah cara membawakan atau menampilkan agama secara kontekstual. Sedangkan I’tidal adalah menyangkut kebenaran kognitifnya. Tawassuth dan I’tidal akan melahirkan tasammuh. Jadi tawassuth itu menjelaskan posisi, I’tidal adalah akurasi dan konsistensinya, sedangkan gabungan dari semua itu akan melahirkan tawazun.
Kekufuran sebagai sasaran dakwah, bukanlah sebuah legitimasi absah untuk memerangi para pelaku kekufuran tersebut secara fisik. Dakwah tidak menghendaki orang-orang kafir itu dibantai dan diperangi pelakunya, melainkan diperintahkan untuk didakwahi sifat dan perilakunya.

D. RUJUKAN
Muzadi, Ahmad Hasyim. 2006. Islam Rahmatan lil-‘Alamin, Menuju Keadilan dan perdamaian Dunia (Perspektif Nahdlatul Ulama). Surabaya. DEPAG Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel.

Yakan, Fathi. Cet. Pertama 2004 & Cet. Ke-II 2005. Problematic Dakwah dan Para Da’i. Solo. Era Intermedia.

Suparta, Munzier & Hefni, Harjani. 2006. Metode Dakwah. Jakarta. Rahmat Semesta.

Muzadi, Abdul Muchith. 2007. NU dalam Perspektif Sejarah & Ajaran. Surabaya. Khalista.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

 
Copyright © Begundal_Lokajaya