Jumat, 11 September 2009

Filsafat Ilmu

A. PENDAHULUAN
Kebudayaan manusia dewasa ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang teramat cepat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari peran dan pengaruh pemikiran filsafat Barat. Pada awal perkembangan pemikiran filsafat Barat pada zaman Yunani kuno, filsafat identik dengan ilmu pengetahuan. Artinya, antara pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan pada waktu itu tidak dipisahkan. Semua hasil pemikiran manusia pada waktu itu disebut filsafat. Pada abad pertengahan terjadi perubahan, filsafat pada zaman ini identik dengan agama, artinya pemikiran filsafat pada waktu itu menjadi satu dengan dogma Gereja (Agama). Munculnya Renaissans pada abad ke-15 (lima belas) dan Aufklaerung di abad ke-18 (delapan belas) membawa perubahan pandangan terhadap filsafat. Filsafat memisahkan diri dari agama, orang mulai bebas mengeluarkan pendapat tanpa takut dihukum oleh Gereja. Sebagai kelanjutan dari zaman Renaissans, filsafat pada zaman modern tetap sekuler, namun sekarang filsafat ditinggalkan oleh ilmu pengetahuan. Artinya ilmu pengetahuan sebagai “anak-anak” filsafat berdiri sendiri dan terpecah mejadi berbagai cabang. Cabang-cabang ilmu berkembang dengan cepat, bahkan memecah diri dalam berbagai spesialisasi dan sub-spesialisasi pada abad ke-20 (dua puluh).
Perbincangan mengenai filsafat ilmu baru mulai merebak di awal abad ke-20 (dua puluh), namun Francis Bacon dengan metode induksi yang ditampilkannya pada abad ke-19 (sembilan belas) dapat dikatakan sebagai peletak dasar filsafat ilmu dalam khasanah bidang filsafat secara umum. Sebagian ahli filsafat berpandangan bahwa perhatian yang besar terhadap peran dan fungsi filsafat ilmu mulai mengedepan tatkala ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dalam hal ini, ada semacam kekhawatiran dikalangan para ilmuwan dan filsuf, termasuk juga kalangan agamawan, bahwa kemajuan Iptek dapat mengancam eksistensi umat manusia, bahkan alam beserta isinya.
Para filsuf terutama melihat ancaman tersebut muncul lantaran pengembangan Iptek berjalan terlepas dari asumsi-asumsi dasar filosofisnya seperti landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang cenderung berjalan sendiri-sendiri. Untuk memahami gerak perkembangan Iptek yang sedemikian itulah, maka kehadiran filsafat ilmu sebagai upaya meletakkan kembali peran dan fungsi Iptek sesuai dengan tujuan semula, yakni mendasarkan diri dan concern (perhatian) terhadap kebahagiaan umat manusia, sangat diperlukan.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian
a. Filsafat
Sebelum kita membahas secara detail, alangkah baiknya kita mengetahui pengertian dari masing-masing lafad. Filsafat Ilmu terdiri dari dua pokok lafad, masing-masing mempunyai orientasi dan objeknya. Sehingga menggabungkan keduanya berarti menggabungkan dua bentuk yang sama-sama mempunyai arti tersendiri.
Filsafat secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu Philosophia. Philos artinya suka, cinta, atau kecendrungan pada sesuatu, atau philia = persahabatan, cinta, love, dsb . Sedangkan Sophia artinya kebijaksanaan. Dengan demikian secara sederhana filsafat dapat diartikan cinta atau kecendrungan pada kebijaksanaan, cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian Sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu Sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian, pengrajin, dan bahkan kecerdikan dalam memutuskan soal-soal praktis. Menurut literatur yang lain, kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab (فلسفة).
Secara terminology adalah arti yang dikandung oleh istilah filsafat, dikarenakan batasan dari filsafat itu banyak, maka sebagai gambaran perlu diperkenalkan beberapa batasan.
1). Plato, berpendapat: filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran asli.
2). Aristoteles, filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat keindahan)
3). Al-Farabi, ialah ilmu tentang hakikat, bagaimana alam maujud sebenarnya.
4). Rene Descartes, ialah kumpulan semua pengetahuan di mana tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
5). Hasbullah Bakry, adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan juga manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya, sejauh yang dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
6). Pendapat umum ialah pengetahuan tentang kebijaksanaan, prinsip-prinsip mencari kebenaran, atau berpikir rasional-logis, mendalam dan bebas (tidak terikat dengan tradisi dan dogma agama) untuk memperoleh kebenaran.
Dengan memperhatikan batasan-batasan yang tentunya masih banyak yang belum kami cantumkan, tapi semua itu menurut hemat penulis bisa ditarik kesimpulan, bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Filsafat tidak mempersoalkan gejala-gejala atau fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dari suatu fenomena.

b. Ilmu
Dilingkungan pendidikan, sosial, masyarakat, kampus, baik pedesaan maupun perkotaan. Istilah ilmu tidak asing lagi ditelinga kita, tampaknya telah menjadi kelaziman bahwa sebutan yang dipergunakan ialah “Ilmu Pengetahuan”. Seperti pada nama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan sebutan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) ataupun Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Pada perkembangan terakhir, begitu juga di negara kita telah ditambahkan istilah “Sains”, seperti pada ungkapan ”Sains dan teknologi”.
Walaupun setiap waktu diucapkan dan dari masa ke masa di ajarkan, namun tampaknya tidak ada pembahasan secara spesifik. Rupanya apa pengertian ilmu dengan sendirinya dipahami tanpa memerlukan keterangan lebih lanjut. Padahal kalau kita rumuskan dengan tepat dan cermat mengenai pengertian ilmu, barulah kita akan sadar bahwa hal itu tidaklah mudah. Hal ini sebetulnya sudah terlihat lazim, baik dari kalangan manapun. Dalam penyebutan istilah “Ilmu Pengetahuan” yang telah begitu lazim, sesungguhnya merupakan suatu penyebutan yang kurang tepat dan tidak cermat. Istilah “Ilmu Pengetahuan” merupakan suatu Pleonasme, yakni pemakaian lebih dari satu perkataan yang sama artinya, atau lebih dikenal dengan istilah “pemborosan kalimat”. Jadi, dalam mengucapkan kata “sains” cukuplah dengan perkataan “ílmu”, tanpa penambahan kalimat “pengetahuan”.
Dari segi maknanya, pengertian ilmu sepanjang yang terbaca dalam pustaka menunjuk pada sekurang-kurangnya tiga hal, yakni pengetahuan, aktivitas, dan metode. Dalam hal yang pertama dan ini yang terumum, ilmu senantiasa ber-arti pengetahuan (knowledge). Di antara para filsuf dari berbagai aliran terdapat pemahaman umum bahwa ilmu adalah sesuatu kumpulan yang sistematis dari pengetahuan (any systematic body of knowledge). Seorang filsuf yang meninjau ilmu, John G. Kemeny juga memakai istilah ilmu dalam arti semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantaraan metode ilmiah (all knowledge collected by means of the scientific method). Dalam kalangan ilmuwan sendiri umumnya juga ada kesepakatan bahwa ilmu terdiri atas pengetahuan. Ini terbukti dari batasan yang datang dari seorang ilmuwan:
(Ilmu menunjuk pertama-tama pada kumpulan-kumpulan yang disusun secara sistematis dari pengetahuan yang dihimpun tentang alam semesta yang melulu diperoleh melaui teknik-teknik pengamatan yang objektif. Dengan demikian, maka isi ilmu terdiri dari kumpulan-kumpulan teratur dari data.)
Demikianlah makna ganda dari pengertian ilmu. Tetapi pengertian ilmu sebagai pengetahuan, aktivitas, dan metode itu bila ditinjau lebih mendalam sesungguhnya tidak saling bertentangan. Bahkan sebaliknya, ketiga hal tersebut merupakan kesatuan logis yang mesti ada secara berurutan. Ilmu harus diusahakan dengan aktifitas manusia, aktifitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan pada akhirnya aktifitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Kesatuan dan interaksi diantara aktifitas, metode, dan pengetahuan yang boleh dikatakan menyusun diri menjadi ilmu, dapatlah digambarkan dalam suatu bagan sebagai berikut:
Menurut hemat penulis, bagan di atas memperlihatkan bahwa ilmu dapat dipahami dari tiga sudut, yakni ilmu dapat dihampiri dari arah aktifitas para ilmuwan atau dibahas mulai dari segi metode atau dimengerti sebagai pengetahuan yang merupakan hasil yang sudah sistematis. Pemahaman yang lengkap akan tercapai kalau ketiga segi itu diberi perhatian yang seimbang.
Jadi, beberapa paparan penulis di atas, tentang definisi filsafat maupun ilmu bisa disimpulkan tentang definisi “Filsafat Ilmu” melalui beberapa definisi yang telah dipaparkan oleh para ahli, di antaranya adalah:

1. dari Robert Ackermann, filsafat ilmu ialah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini yang dibandingkan dengan pendapat-pendapat lampau yang telah dibuktikan.
2. Lewis White Beck, ialah mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah, serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
3. Cornelius Benjamin, ialah merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan pra-anggapan-pra-anggapannya serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual.
4. May Brodbeck, Filsafat Ilmu ialah sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan, dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu.
5. Filsafat Ilmu ialah penyelidikan tentang ciri-ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
Filsafat ilmu erat kaitannya dengan filsafat pengetahuan atau epistemologi, yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk-bentuk pengalaman manusia, juga mengenai logika dan metodologi.
Pada masa Renaissance dan Aufklarung, ilmu telah memperoleh kemandiriannya. Sejak itu pula manusia merasa bebas, tidak terikat dengan dogma agama, tradisi maupun sistem sosial. Pada masa ini, perombakan terjadi secara fundamental di dalam sikap pandang tentang apa hakikat ilmu dan bagaimana cara perolehannya telah terjadi.
Filsafat ilmu sebagai kelanjutan dari perkembangan filsafat pengetahuan, adalah juga merupakan cabang filsafat. Ilmu yang objek sasarannya adalah ilmu, atau secara populer disebut dengan ilmu tentang ilmu.
Sejarah perkembangan ilmu memaparkan berbagai wacana yang berkembang diseputar temuan-temuan ilmiah sesuai dengan periodesasi-periodesasi. Setiap periode menampakkan kekhasannya masing-masing, sehingga perbandingan secara kritis antara satu periode dengan periode yang lain akan memperlihatkan kekayaan paradigma ilmiah sepanjang sejarah perkembangan ilmu. Kuhn bahkan menegaskan terjadinya revolusi sains yang didukung oleh penemuan paradigma baru dalam bidang ilmu tertentu, sehingga mampu mengubah pola pikir masyarakat. Sebagai contoh; pada zaman Yunani sampai abad pertengahan masyarakat masih berpegang pada pandangan Geosentris, yakni bumi sebagai pusat jagat raya. Namun setelah revolusi Copernicus, masyarakat mempercayai bahwa bukan bumi sebagai pusat jagat raya, melainkan matahari, sehingga terjadi pergeseran paradigmatis dari geosentris ke heliosentris.

2. Objek
Filsafat ilmu sebagaimana halnya dengan bidang-bidang ilmu yang lain, juga memiliki beberapa objek, sebagai penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Antara lain adalah ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

a. Ontologi
Ontologi menjelaskan mengenai pertanyaan apa, ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Sejak dini dalam pikiran Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan ontologis, sebagaimana Thales ketika ia merenungkan dan mencari apa sesungguhnya hakikat “yang ada” (being) itu, yang pada akhirnya ia mengambil kesimpulan, bahwa asal usul dari segala sesuatu (yang ada) adalah air.
Ontologi merupakan azas dalam menetapkan batas ruang lingkup wujud yang menjadi objek peneleahan serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika). Ontologi meliputi permasalahan apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan itu, yang tidak terlepas dari pandangan tentang apa dan bagaimana yang ada (being). Paham idealisme atau spiritualisme, materialisme, dualisme, dan pluralisme merupakan paham ontologis yang akan menentukan pendapat dan bahkan keyakinan kita masing-masing tentang apa dan bagaimana kebenaran dan kenyataan yang hendak dicapai oleh ilmu itu.
Louis O. Kattsoff membagi ontologi dalam beberapa bagian: ontologi bersahaja, ontologi kuantitatif, dan kualitatif, serta ontologi monistik. Dikatakan ontologi bersahaja sebab segala sesutau dipandang dalam keadaan sewajarnya dan apa adanya. Dikatakan ontologi kuantitatif karena dipertanyakan mengenai tunggal atau jamaknya dan dikatakan ontologi kualitatif juga karena berangkat dari pertanyaan; apakah yang merupakan jenis kenyataan itu?. Sedangkan ontologi monistik adalah jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya; keanekaragaman, perbedaan dan perubahan dianggap semu belaka. Pada gilirannya ontologi monistik melahirkan monisme atau idealisme dan materialisme.
Dari beberapa pertanyaan ontologi, telah melahirkan beberapa aliran filsafat. Misalnya perntanyaan:

Apakah yang ada itu (what is being)?
Dalam memberikan jawaban pada permasalahan ini lahir empat aliran filsafat, yaitu: monisme, dualisme, idealisme, dan agnotisme.
Bagaimanakah yang ada itu (how is being)?
Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi atau berubah-ubah? Dalam hal ini Zeno (490-530 SM) menyatakan, bahwa sesuatu itu sebenarnnya khayalan belaka. Pendapat ini dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitihead, bahwa alam ini dinamis, terus bergerak dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif.
Di manakah yang ada itu (where is being)?
Aliran ini berpendapat, bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kodrati, universal, tetap abadi dan abstrak. Sementara aliran materialisme berpendapat sebaliknya bahwa, yang ada itu bersifat fisik, kodrati, individual, berubah-rubah dan riil.
Menurut penulis, jangkauan ontologi sendiri terletak pada aspek pengalaman-pengalaman manusia itu sendiri. Dalam arti, apa yang diluar batas kemampuan akal itu bukan pembahasan ini, melainkan masuk pada ruang pengetahuan lain (agama). Seperti objek penelaahan yang berada dalam batas pra-pengalaman dan pasca-pengalaman.

b. Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal-muasal, metode-metode dan sahnya ilmu pengetahuan. Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang epistemologi:
1). Apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah datangnya sumber pengetahuan yang benar itu? Dan bagaimana cara mengetahuinya?
2). Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada dunia yang benar-benar diluar pikiran kita? Dan kalaupun ada, apakah kita bisa mengetahuinya?
3). Apakah pengetahuan itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari yang salah?
Secara umum pertanyaan-pertanyaan epistemologi menyangkut dua macam, yakni epistemologi kefilsafatan yang erat hubungannya dengan psikologi dan pertanyaan-pertanyaan semantik yang menyangkut hubungan antara pengetahuan dengan objek pengetahuan tersebut.
Epistemologi meliputi tata cara dan sarana untuk mencapai pengetahuan. Perbedaan mengenai pilihan ontologik akan mengakibatkan perbedaan sarana yang akan digunakan yaitu; akal, pengalaman, budi, intuisi atau sarana yang lain. Ditunjukkan bagaimana kelebihan dan kelemahan suatu cara pendekatan dan batas-batas validitas dari suatu yang diperoleh melalui suatu cara pendekatan ilmiah.
Secara garis besar terdapat dua aliran pokok dalam epistemologi, yaitu rasionalisme dan empirisme, yang pada gilirannya kemudian muncul beberapa isme lain, misalnya: rasionalisme kritis (kritisisme), fenomenalisme, intuisionisme, positivisme dan seterusnya.

c. Aksiologi
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu, sebagaimana kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil dan kawasan simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri-sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu ke dalam praksis.
Pertanyaan-pertanyaan aksiologi, menurut Kattsoff dapat dijawab melalui tiga cara:
1). Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif.
2). Nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologis namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.
3). Nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan, demikian ini disebut objektivisme metafisik.

3. Sumber
Filsafat dan ilmu yang dikenal di dunia Barat dewasa ini berasal dari zaman Yunani kuno. Pada zaman itu filsafat dan ilmu jalin-menjalin menjadi satu dan orang-orang tidak memisahkannya sebagai dua hal yang berlainan. Menurut konsepsi filsuf besar Yunani kuno Aristoteles , episteme adalah “ an organized body of rational knowledge with its peoper object “ (suatu kumpulan yang teratur dari pengetahuan rasional dengan objeknya sendiri yang tepat). Jadi, filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan rasional, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran atau rasio manusia.
Dalam pemikiran Aristoteles selanjutnya, episteme atau pengetahuan rasional itu dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Praktike (pengetahuan praktis)
b. Poietike (pengetahuan produktif)
c. Theoritike (pengetahuan teoritis)
Theoritike atau pengetahuan teoritis oleh Aristoteles dibedakan pula menjadi tiga kelompok dengan sebutan:
1). Mathematike (pengetahuan matematika)
2). Physike (pengetahuan fisika)
3). Prote philosophia (filsafat pertama)
Filfafat pertama (prote philosophia) adalah pengetahuan teoritis yang menelaah peradaan yang abadi, tidak berubah, dan terpisah dari materi. Aristoteles mendifisikannya sebagai “the science of first principles” (ilmu tentang asas-asas yang pertama). Semua pengetahuan lainnya secara logis mengandalkan atau berdasarkan ilmu ini. Oleh karena itu, ilmu ini dianggap sebagai Filsafat Pertama. Kemudian definisi ini diperlengkap menjadi “a science which investigates being as being, and the attributes which belong to this in virtue of its own nature” (suatu ilmu yang menyelidiki peradaan sebagai peradaan dan ciri-ciri yang tergolong pada objek ini berdasarkan sifat dasarnya ini).

4. Tujuan
Filsafat ilmu sebagai cabang khusus filsafat yang membicarakan tentang sejarah perkembangan ilmu, metode-metode ilmiah, sikap etis yang harus dikembangkan para ilmuwan secara umum mengandung tujuan-tujuan sebagai berikut:
a. Filsafat ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah. Maksudnya, seorang ilmuwan harus memiliki sikap kritis terhadap bidang ilmunya sendiri, sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap solipsistik, menganggap bahwa hanya pendapatnya yang paling benar.
b. Filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan. Sebab kecenderungan yang terjadi dikalangan para ilmuwan modern adalah menerapkan suatu metode ilmiah tanpa memperhatikan struktur ilmu pengetahuan itu sendiri. Satu sikap yang diperlukan disini adalah menerapkan metode ilmiah yang sesuai atau cocok dengan struktur ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya. Metode hanya sarana berfikir, bukan merupakan hakikat ilmu pengetahuan.
c.Filsafat ilmu memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan. Setiap metode ilmiah yang dikembangkan harus dapat dipertanggung jawabkan secara logis-rasional, agar dapat dipaham dan dipergunakan secara umum. Semakin luas penerimaan dan penggunaan metode ilmiah, maka semakin valid metode tersebut, pembahasan mengenai hal ini dibicarakan dalam metodologi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang cara-cara untuk memperoleh kebenaran.

C. KESIMPULAN
Filsafat merupakan sebuah ilmu yang telah lahir semenjak zaman Yunani kuno, berkembang dan tumbuh sampai zaman sekarang. Definisi secara umum, filsafat adalah pengetahuan tentang kebijaksanaan, prinsip-prinsip mencari kebenaran, atau berpikir rasional-logis, mendalam dan bebas (tidak terikat dengan tradisi dan dogma agama) untuk memperoleh kebenaran. Sedangkan yang dimaksud filsafat ilmu adalah ialah penyelidikan tentang ciri-ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Pada mulanya filsafat ilmu merupakan bagian utuh dari pada filsafat, namun setelah melewati beberapa periode, filsafat ilmu menjadi bagian tersendiri tapi masih termasuk bagian dari cabang filsafat.
Objek filsafat ilmu ada tiga, yaitu: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi lebih kepada hakikat sesuatu, epistemologi lebih cenderung pada metode dan aksiologi lebih spesifik kepada penerapannya.

D. DAFTAR RUJUKAN
1. Zainuddin, M. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta. Lintas Pustaka. 2006

2. Surajiyo. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta. Bumi Aksara. 2005.

3. Gie, The Liang. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta. Liberty Yogyakarta. 2000.

4. Mustansyir, Rizal & Munir, Misnal . Filsafat Ilmu. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2006.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

 
Copyright © Begundal_Lokajaya