Jumat, 11 September 2009

Abbasiyah, pembentukan & perkembangannya

A. PENDAHULUAN

Di balik kekuasaan akan lahir sebuah peradaban yang baru, dengan semua konflik yang terjadi telah menggambarkan bagaimana kehidupan seseungguhnya. Al-Qur’an sebenarnya telah banyak mencontohkan kehidupan-kehidupan pra-Islam, dari semua tonggak sejarah yang ada, semaksimal mungkin kita seharusnya mengambil hikmah dan pelajaran.

Kelemahan klasik dan khas dari kehidupan sosial orang-orang Arab, yang terlalu menekankan individualisme, semangat kesukuan, dan pertikaian, kembali menampakkan wujudnya. Ikatan persaudaraan berdasarkan iman yang telah dibangun oleh Rasulullah, untuk sementara waktu berhasil mengatasi perpecahan yang selalu membayang-banyangi kehidupan sosial masyarakat Arab, yang terdiri atas berbagai suku dan etnis. Namun seiring perjalanan waktu, pada periode Umayyah mulai longgar. Bahkan kendornya ikatan itu telah terjadi lebih dini yaitu pada masa Utsman ibn Affan, yang mulai menampakkan semangat keluarga dan sukunya masing-masing.[1]

Beribu-ribu nyawa dikorbankan hanya untuk memenuhi ambisinya, tak pelak meski telah memangku kekuasaan sekian abad pada akhirnya mereka juga akan binasa dan runtuh. Menyitir apa yang pernah dikatakan oleh Ben Anderson bahwa kekuasaan Orde Baru dibangun di atas tumpukan mayat. Namun sejarah membuktikan bahwa atas nama apapun, sebuah kekuasaan yang dibangun di atas penderitaan rakyatnya pasti akan tumbang dengan sendirinya.[2]

Namun, tidak bisa kita pungkiri, peradaban Islam telah lahir pada masa tersebut dengan berbagai bentuk kekurangan dan kelebihannya. Kejayaan Islam telah kita lewati, bernostalgia dengan kejayaan hanyalah sebuah ilusi belaka dan fatamorgana. Kejayaan akan abadi bilamana para pemimpinnya dalam setiap langkahnya diiringi dengan rasa iman dan takwa.[3]

Penulis sedikit menguraikan tentang isu-isu maupun propaganda Bani Abbas dalam menghancurkan kekuasaan Bani Umayyah, semoga makalah kecil ini, bisa menambah wawasan dan mengambil hikmah dari setiap kejadian. Amin….


B. PEMBAHASAN

Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim, golongan Syi'ah, dan kaum mawali (non-Arab) yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.


1. Koalisi dan Propaganda

Jatuhnya Dinasti Umayyah semakin terlihat, tatkala 3 (tiga) kelompok melakukan sebuah koalisi, yaitu kekuatan Syi’ah, Khurasan, dan Abbasiyah. Yang pada akhirnya kepentingan selanjutnya dimanfaatkan oleh kelompok terakhir. Koalisi ini dipimpin oleh Abu al-Abbas, cicit al-Abbas paman Nabi. Di bawah kepemimpinannya, Islam revolusioner bangkit menentang tatanan yang ada dengan menawarkan gagasan teokrasi dan janji untuk kembali kepada tatanan ortodoksi. Pada tanggal 9 Juni 747 pemberontak ini dimulai.

Selain kedua kelompok di atas, kekuatan destruktif lainnya mulai bergerak aktif. Keluarga Abbas mulai menegaskan tuntutan mereka untuk menduduki pemerintahan. Dengan cerdik, mereka bergabung dengan pendukung Ali, dengan mengusung isu, “pemerintahan berhak dipimpin oleh keluarga Hasyim”. Sambutan pihak koalisi (Syi’ah) semakin meyakinkan setelah menekankan bahwa sebagian besar keluarga Hasyim adalah keturunan Ali. Akan tetapi keluarga Abbas sendiri mengklaim anggota keluarga mereka sebagai keluarga Hasyim, cabang dari Quraisy, sehingga lebih dekat dengan keluarga Nabi daripada keluarga Umayyah.

Dengan memanfaatkan kekecewaan publik dan menampilkan diri sebagai pembela sejati agama Islam, para keturunan Abbas segera menjadi pemimpin gerakan anti Umayyah. Sebagai markas dan pusat propaganda, mereka memilih sebuah desa kecil di sebelah selatan Laut Mati, al-Mumaymah, yang kelihatannya terpencil dan jauh dari kedamaian dunia, tapi kenyataannya merupakan daerah strategis yang berdekatan dengan jalur kafilah, dan terletak di satu persimpangan rute para jamaah haji. Di sinilah berdiri sebuah panggung sejarah pertama dan paling nyata dari gerakan propaganda Islam politik.

Di bawah pimpinan Muhammad bin Ali al-Abbasy, gerakan Bani Abbas dilakukan dalam dua fase yaitu : 1) fase sangat rahasia; dan 2) fase terang-terangan dan pertempuran (Hasjmy, 1993:211). Selama Ali al-Abbasy masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia. Propaganda dikirim keseluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan yang merasa tertindas, bahkan juga dari golongan yang pada mulanya mendukung Bani Umayyah. Setelah Ali al-Abbasy meninggal dan diganti oleh anaknya, maka seorang pemuda Persia yang gagah berani dan cerdas bernama Abu Muslim al-Khusarany, bergabung dalam gerakan rahasia ini. Semenjak itu dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian dengan cara pertempuran.


2. Berdirinya Dinasti Abbasiyah

Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass (750-754). Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada hari kamis tanggal 3 Rabiul Awwal 132 H/30 Oktober 749 M dengan pengakuan publik yang diberikan di masjid kepadanya sebagai khalifah.[4] Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-1258 M (Syalaby,1997:44).

Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersamaan dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah. Orang-orang Abbasiyah juga tidak segan-segan membunuh keluarga Dinasti Umayyah yang dipelopori oleh jendral mereka yaitu Abdullah. Pada 25 Juni 750, ia mengundang jamuan makan 80 orang keluarga Bani Umayyah ke Abu Futhrus[5], kemudian menghabisi mereka ketika jamuan sedang berlangsung.

Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi. Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu :

a) Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat yang di sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa saat itu.

b) Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan zaman.

c) Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan oleh para kritikus.

d) Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di pelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa oleh karena hal-hal tertentu yang merasa tidak puas dengan syistem yang ada.

Sebelum daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3 (tiga) tempat yang menjadi pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman Nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari namanya Dinasti itu disandarkan). Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan. Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan secara terang-terangan dengan golongan Bani Umayyah.

Demikian pula dengan Khurasan, kota yang penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai warga yang bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung dengan kepercayaan yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah mendapatkan dukungan.

Ketika berhasil merebut kekuasaan, orang Abbasiyah mengklaim dirinya sebagai pengusung konsep sejati kekhalifahan, yaitu gagasan Negara teokrasi yang menggantikan pemerintahan sekuler Dinasti Umayyah. Dalam satu hal terdapat perbedaan yang sangat mendasar: Dinasti Umayyah terdiri atas orang Arab, sementara Dinasti Abbasiyah lebih bersifat internasional. Dinasti Abbasiyah merupakan kerajaan orang Islam baru, tempat orang Arab hanya menjadi salah satu unsur dari berbagai bangsa yang membentuk kerajaan itu. Disamping itu juga, terdapat perbedaan yang lain, untuk pertama kalinya dalam sejarah, kekhalifahan tidak dikaitkan dengan Islam.

Khalifah al-Saffah meninggal pada tahun 754 karena penyakit cacar air ketika berusia 30 tahun. Setelah itu digantikan oleh saudaranya, bernama “Abu Ja’far”, diberi julukan “al-Mansur”. Dialah khalifah terbesar Dinasti Abbasiyah, pemimpin sejati yang sebenarnya, meskipun ia bukan seorang muslim yang saleh. Sejak awal, dibangun gagasan bahwa kekuasaan selamanya harus dipegang oleh orang Abbasiyah, hingga diserahkan kepada Isa, sang juru selamat. Belakangan dikembangkan sebuah teori bahwa jika kekhalifahan ini runtuh, seluruh dunia akan kacau.

Pada 7 Oktober 775, al-Mansur meninggal dekat makah dalam perjalanan ibadah haji, ketika usianya lebih dari 60 tahun. Seratus liang kubur digali untuk menyamarkan makamnya didekat kota suci, dan ia dimakamkan disebuah tempat yang tidak bisa dilacak dan digali kembali oleh para musuhnya. Pengganti selanjutnya adalah khalifah al-Mahdi (775-785 M), istilah yang digunakan kaum Syi’ah untuk menggambarkan seorang pemimpin yang membangun era keadilan dan perdamaian.[6] Ia berusaha merebut hati kaum Syi’ah setelah pertumpahan darah yang dilakukan ayahnya saat ia memilih gelar ini.

Abbasiyah benar-benar menyadari ketidakpuasan yang mendorong hancurnya kekuasaan Umayyah dan menyadari bahwa mereka harus membuat konsesi dengan kelompok-kelompok antagonis. Walaupun mereka adalah orang Arab, kemenangan mereka mengakhiri kebiasaan lama, yakni memberikan status istimewa dalam imperium bagi orang Arab. Mereka memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Irak, menetap di Kufah dan kemudian di Baghdad. Ia berjanji memperlakukan semua provinsi secara adil dan tidak membiarkan adanya status khusus bagi kelompok etnis manapun.

Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh seorang wazir (perdana mentri) atau yang jabatannya disebut dengan wizaraat. Sedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu: 1) Wizaraat Tanfiz (system pemerintahan presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah. 2) Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabinet). Wazirnya berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan. Sedangkan Khalifah sebagai lambang saja. Pada kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal sebagai gubernurnya Khalifah (Lapidus,1999:180).

Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan yang bernama diwanul kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha Negara bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamul idary al-markazy. Selain itu, dalam zaman daulah Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul umara, baitul maal, organisasi kehakiman. Selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya.

3. Periodisasi[7]

Berdasarkan perubahan tersebut, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi 3 periode, yaitu :


a) Periode Pertama (750-847 M)

Pada periode ini, seluruh kerajaan Islam berada dibawah kekuasaan para khalifah kecuali di Andalusia. Adapun para khalifah yang memimpin pada periode ini sebagai berikut :

1) Abul Abbas as-Saffah (750-754 M)

2) Abu Ja’far al-Mansyur (754-775 M)

3) Abu Abdullah M. Al-Mahdi bin Al-Mansyur (775-785 M)

4) Abu Musa Al-Hadi (785-786 M)

5) Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid (786-809 M)

6) Abu Musa Muh. Al-Amin (809-813 M)

7) Abu Ja’far Abdullah Al-Ma’mun (813-833 M)

8) Abu Ishak M. Al-Muta’shim (833-842 M)

9) Abu Ja’far Harun Al-Watsiq (842-847 M)

10) Abul Fadhl Ja’far Al-Mutawakkil (847-861)


b) Periode kedua (232 H/847 M-590 H/1194 M)

Pada periode ini, kekuasaan bergeser dari sistem sentralistik pada system desentralisasi, yaitu ke dalam tiga negara otonom :

1) Kaum Turki (232-590 H)

2) Golongan Kaum Bani Buwaih (334-447 H)

3) Golongan Bani Saljuk (447-590 H)

Dinasti-Dinasti di atas pada akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa Khalifah Abbassiyah.


c) Periode ketiga (590 H/1194 M-656 H/1258 M)

Pada periode ini, kekuasaan berada kembali ditangan Khalifah, tetapi hanya di Baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya. Sedangkan para ahli kebudayaan Islam membagi masa kebudayaan Islam di zaman Daulah Abbasiyah kepada 4 masa, yaitu :

1) Masa Abbasy I, yaitu semenjak lahirnya Daulah Bani Abbasiyah tahun 750 M, sampai meninggalnya Khalifah al-Watsiq (847 M).

2) Masa Abbasy II, yaitu mulai Khalifah al-Mutawakkil (847 M), sampai berdirinya Daulah Buwaihiyah di Baghdad (946 M).

3) Masa Abbasy III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun (946 M) sampai masuk kaum Saljuk ke Baghdad (1055 M).

4) Masa Abbasy IV, yaitu masuknya orang-orang Saljuk ke Baghdad (1055 M), sampai jatuhnya Baghdad ke tangan Tartar di bawah pimpinan Hulako (1268 M).


C. KESIMPULAN

Daulah Abbasiyah merupakan lanjutan dari pemerintahan Daulah Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendirinya adalah keturunan Abbas, paman Nabi. Daulah Abbasiyah didirikan oleh Abdullah as-Safah. Kekuasaannya berlansung dari tahun 750-1258 M. Di dalam Daulah Bani Abbasiyah terdapat ciri-ciri yang menonjol yang tidak terdapat di zaman bani Umayyah, antara lain :

1. Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan Dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab.

2. Dalam penyelenggaraan negara, pada masa bani Abbas ada jabatan Wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.


D. RUJUKAN

Karya, Soekama. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta. Logos. 1996.

Al-Maududi, Abu A’la. Khilafah dan Kerajaan. Terj. Al-Baqir. Bandung. Mizan. 1984.

Armstrong, Karen. Islam Sejarah Singkat. Yogyakarta. Jendela. 2003

K. Hitti, Philip. History Of The Arabs. Jakarta. PT. Ikrar Mandiriabadi. 2006

www.Mr_’s BlogJust another Friendster Blogs weblog.com



[1] Philip K. Hitti. History Of The Arabs. 2006. Jakarta. PT. Ikrar Mandiriabadi. Hal 348

[2] http://come.to/indomarxist/Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal

[3] Q.S. al-Furqan: 74

[4] Philip K. Hitti. History Of The Arabs. 2006. Jakarta. PT. Ikrar Mandiriabadi. Hal 355

[5] Sebuah kuil kuno di sungai ‘Awja’ dekat Jaffa’.

[6] Karen Armstrong. Islam Sejarah Singkat. 2003. Yogyakarta. Jendela. Hal 64

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

 
Copyright © Begundal_Lokajaya