Jumat, 11 September 2009

الاِعتدال في الدعوة

0 komentar
A. PENDAHULUAN
Secara bahasa, dakwah berasal dari padanan kata da’a-yuda’i-du’a'an wa da’watan. Dalam al-Qur’an istilah dakwah disebutkan kurang lebih sebanyak sepuluh kali dengan berbagai arti yang berbeda; ajakan, seruan, pembuktian dan doa. dalam makna sempit, dakwah berarti tugas untuk menyampaikan dan mengajarkan ajaran Islam pada yang lain agar nilai-nilai Islam terwujud dalam kehidupan manusia.
Menekankan dakwah dalam arti mempromosikan dan menjajakan keyakinan dalam ruang formal-legal, terang saja akan mengakibatkan fragmentasi sosial antara umat beragama benar-benar terjadi. Islam, juga agama lain, akan saling bersitegang dalam memperebutkan penganut dan berlomba-lomba dalam memperbanyak jumlah pengikut (dakwah kuantitatif). Karena kepentingan dakwah Islam pada akhirnya berbenturan dengan propaganda agama lain dengan maksud yang tak jauh berbeda.
Akibatnya, dakwah yang semula bersifat pilihan alternatif (ikhtiyari) berubah bentuk menjadi paksaan mutlak (ijbari) dengan menghalalkan segala cara, termasuk kekerasan, teror, dan bahkan memerangi demi menegakkan tujuan dakwah yang dimaksud. Tujuan dakwah dalam upaya mewujudkan kebenaran, dengan tragis dan penuh eksploitasi mengabaikan kebenaran lainnya.
Dakwah adalah kewajiban setiap umat Islam, untuk saling mengingatkan dan mengajak sesamanya dalam rangka menegakkan kebenaran (konteks iman/teologis) dan kesabaran (konteks amal/sosiologis). Inilah kenapa umat Islam selanjutnya disebut sebagai pewaris para nabi, waratsatul anbiya’. Nabi yang berasal dari kata naba-a tiada lain bermakna penebar risalah Tuhan.
Tujuan dakwah bukanlah untuk memaksakan kehendak, mengislamkan yang lain maupun untuk mempersatukan umat manusia, apalagi untuk memperbanyak pengikut. Jika dakwah berarti demikian, niscaya Nabi Nuh as yang diberi usia 950 tahun dalam menggencarkan risalah dakwahnya tidak layak diberi penghargaan. Sebab, dalam kurun yang sangat panjang itu beliau hanya mampu mengajak manusia seisi penumpang sebuah kapal laut. Kenyataannya beliau tetap dianggap orang istimewa oleh Allah SWT.

B. PEMBAHASAN
Sebelum kita membahas lebih jauh, alangkah baiknya kita mengetahui makna dari kalimat-kalimat di atas. I’tidaal artinya adalah tegak lurus, tidak condong ke kanan atau kiri. Kata ini diambil dari al-adlu yang berarti keadilan atau I’dilu atau bersikap adillah. I’tidaal, yang berarti tegak lurus dalam mengambil suatu keputusan, mengandung arti bahwa dalam menyikapi setiap permasalahan selalu bersikap adil dan tidak akan terpengaruh dengan unsur-unsur ketidak-benaran. Seperti firman Allah:
Artinya.. “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

1. Ruang Lingkup Dakwah Para Utusan
Sebagaimana telah kita ketahui, ruang lingkup ini juga sebagai karakter diri para utusan yang selalu mengedepankan tentang ketuhanan maupun esensi ajarannya. Karena pada diri rasul, perbuatannya yang merupakan li at-tasyri’ (mengajarkan tentang syariat) akan memberikan informasi bagaimana para utusan tersebut seharusnya berperilaku. Sehingga perbuatan mereka tidak jauh dari perbuatan wajib, sunnah, dan mubah.
Para utusan disamping menerima informasi untuk dirinya sendiri, namun juga diperuntukkan bagi umatnya. Dalam hal ini para utusan, mempunyai kewajiban menyampaikan apa-apa yang telah diinformasikan kepadanya, baik melalui mimpi maupun lantaran para malaikat. Ruang lingkup dakwah mereka antara lain:
a). Mengetahui Allah
Dalam hal ini, para utusan dapat mengenalkan Allah (معرفة الله) kepada para umatnya melalui nama-nama Allah dan sifat-sifatnya. Sehingga para umatnya selalu mempunyai bentuk kesadaran dalam setiap bentuk ibadahnya, dan seakan-akan dia selalu dapat melihatnya. Sebagaimana hadis Rasulillah:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لاَ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Artinya.. “Menyembahlah kepada Allah seakan-akan kamu melihatnya, jika tidak maka sesungguhnya Allah akan melihatmu..”

b). Mengetahui syari’atnya

c). Mengetahui pahala bagi orang-orang yang taat dan siksaan bagi orang-orang yang melanggar perintahnya.
Hubungan tiga komponen ini, akan memberikan gambaran kepada umatnya, bahwa kebenaran yang sesungguhnya sesuatu yang telah dibawa oleh para utusan untuk disampaikan kepada umatnya. Sehingga individu atau kelompok tidak seenaknya mengatakan; bahwa “ajaran inilah yang paling benar”. Dengan demikian, sekat-sekat kemurnian ajaran Islam bisa kita ketahui dan bisa memisahkan antara yang hak dan yang bathil. Karena tujuan dari bersikap I’tidal adalah mengetahui kebenaran yang murni dari ajaran Islam.

2. Dakwah dengan cara Keras atau Menyejukkan
Makna “keras” mencakup beberapa hal, baik dari aspek maupun bentuknya. Yaitu berupa intonasi suara yang kasar dalam dakwah bi al-lisan, pilihan kata-kata yang nyelekit dalam tulisan atau dakwah bi al-risalah ataupun dalam manifestasi tindakan yang terkesan “anarkis” dalam dakwah bi al-hal.
Demikian pula makna “menyejukkan” mencakup intonasi ucapan yang lembut, pilihan kata yang terkesan, indah dan menyentuh hati, materi dakwah yang tidak cendrung memvonis dan tindakan amr bi al-ma’ruf atau nahi al-munkar baik dalam dakwah bi al-lisan, bi al-hal, ataupun bi ar-risalah.
Yang di maksud keras di sini, penulis cenderung kepada “tindakan tegas”, baik dalam dakwah bi al-hal, bi al-lisan, dan bi al-risalah. Di dalam al-Qur’an sendiri maupun hadis, tidak ada kata-kata kekerasan apalagi dalam menyebarkan ajaran Islam. Karena Islam sendiri diturunkan untuk menyayangi isi seluruh alam semesta. Ketegasan di dalam al-Qur’an dicontohkan dalam QS. Al-Fath; 29.
Ada sebuah ayat yang menunjukkan “sikap keras”, namun arahan ayat ini terhadap orang kafir dan berlemah lembut terhadap orang mukmin. “sikap keras” ini, oleh al-Shabuni dijelaskan:
Keras terhadap orang-orang yang menentang Islam yang demikian itu karena memang sudah diperintahkan Allah kepada mereka, begitu kerasnya sehingga orang-orang mukmin itu menjaga diri dari busana mereka bahkan enggan menyentuh badan mereka.
Jadi, keras dalam dakwah berarti bertindak tegas terhadap orang-orang yang menentang Islam, menghalangi perkembangannya, atau bahkan dibunuh. Metode dakwah dengan “keras” dapat dilakukan, dengan rambu-rambu sebagai berikut: a). Untuk mencegah kemungkaran, dan b). Dakwah Islam dihalangi
Prinsip dakwah menyejukkan pernah dilakukan oleh Rasulillah tatkala sebelum hijrah, beliau tidak pernah menyeru pada umatnya dengan panggilan “orang-orang kafir, musyrik, atau munafik. Melainkan dengan seruan yang sama dengan dirinya, yaitu: “yaa ayyuha an-nas, yaa qaumi, atau yaa ayyuha al-ladzina amanu. Akan tetapi setelah sekian lama berdakwah dengan cara yang lembut mereka tolak, bahkan Rasulillah hampir saja terbunuh oleh perbuatan mereka. Baru Rasulillah menyeru dengan kata-kata tegas dan lantang “hai orang-orang kafir..”. Prinsip dakwah menyejukkan, antara lain ialah:
1). Mencari titik temu atau sisi kesamaan
2). Menggembirakan sebelum menakui-nakuti
3). Memudahkan tidak mempersulit
4). Memperhatikan penahapan beban dan hukum
5). Memperhatikan psikologi mad’u
Menyejukkan tidak lain adalah memberikan nasehat dan menyampaikan kebajikan dengan metodologi yang indah dan menawan, sehingga menorehkan bekas yang kuat, membukakan hati, dan melapangkan dada. Sehingga dakwah bisa diterima dari semua kalangan dan bisa berjalan secara optimal.
Sikap tegas dan keras adalah dua kata yang berbeda makna tujuannya, karena dari dua kata tersebut akan tampak konsekwensi masing-masing. Sikap tegas akan memberikan pembelajaran dan kepahaman kepada seseorang, bahwa tindakan yang dia lakukan telah menyimpang dari ajaran sebenarnya. Dengan bersikap demikian orang akan cendrung menerimanya dan tidak bersikap acuh tak acuh. Berbeda halnya kalau kita melakukan dakwah dengan cara keras, orang akan cendrung tidak menerima dan biasanya akan berujung pada sikap anarkis, deskriminatif, dan berlatar belakang nafsu bukan berdasarkan murni ajaran Islam. Bersikap keras dalam berdakwah, jelas tidak sesuai dengan sikap yang selama ini telah diusung oleh Islam, yaitu; bersikap I’tidal.

3. Tasamuh, Tawazun, dan Tawassuth dalam Berdakwah
Tasamuh, tawazun, dan tawassuth merupakan kata-kata yang tidak asing lagi kita dengar. Di dalam setiap seremonial maupun acara-acara keagamaan sering kali kata tersebut diungkapkan, baik bagi kalangan umum apalagi bagi warga nahdliyyin. Namun apa makna kalimat di atas?? Penulis ingin sedikit memberikan gambaran, paling tidak sebagai jenjang untuk memahaminya.

a). Tasammuh
Merupakan kosa kata Arab yang bermakna sama-sama berlaku baik, lemah lembut, dan saling memaafkan. Atau disebut dengan “tolerance”, bermakna lapang dada, sabar, tahan, dan dapat menerima. Tasammuh dalam pengertian umum adalah suatu sikap akhlak terpuji dalam pergaulan di mana rasa saling menghargai antara sesama manusia dalam batas-batas yang telah digariskan Islam.
Dalam berinteraksi, tasammuh dibagi menjadi dua:
1). Tasammuh antar sesama muslim. Seperti saling tolong-menolong, menghargai, sayang-menyayangi, dan menjauhkan rasa curiga.
2). Tasammuh terhadap non-muslim. Seperti saling menghargai hak-hak mereka sebagai manusia dan sebagai sesama anggota masyarakat dalam berbangsa.
Toleran yang berarti membiarkan atau tidak memaksa suatu budaya apalagi menyangkut tentang ideolgi, merupakan sebuah kepahaman yang mendalam dari ajaran Islam. Jadi, sikap menghargai pluralisme adalah sikap yang natural, logis dan merupakan bagian dari perwujudan tingkat kedewasaan seseorang dalam menerima kenyataan sejarah. Ajaran Islam sendiri membenarkan dalam keberagaman dan perbedaan.
Maka, dengan keberagaman tersebut, Allah memberikan kesempatan kepada kita semua untuk menguji keimanan yang kita pilih. Kemerdekaan dalam ajaran Islam telah menjadi sebuah prinsip ajarannya. Mengaplikasikan ajaran demikian, akan menjadikan penganutnya tidak akan memaksakan keyakinannya pada orang lain, sehingga ia tidak merasa terbebani. Perbedaan ini akan terus lahir dan berkelanjutan dalam segala aspek kehidupan. Namun bila kita sadari akan menjadi sebuah rahmat dalam kehidupan dengan rasa saling menghormati.
b). Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak berlebihan sesuatu unsur atau kekurangan unsur lain. Sebagaimana dalam al-Qur’an:
Artinya... “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”

Sikap tawazun ini muncul ketika menghadapi sebuah problematika kehidupan, di waktu umat muslim dalam melaksanakan amaliah dan ajarannya, ia tidak akan sepi dari perbedaan, baik itu lahir dari kalangan sendiri maupun pihak lain. Ini tidak lain adalah pengejawantahan dari sebuah prinsip yang mereka anut dan mereka yakini. Sikap ini sangat diperlukan dalam menyikapi berbagai persoalan, yakni tidak tafrith atau ifrath dalam melakukan sikap ekstrim, baik kiri maupun kanan.
Solusi yang dapat dicapai dalam mengaplikasikan sikap ini adalah mencari titik temu dalam menghadapi masalah. Kegagalan mencari titik temu merupakan awal dari kegagalan berdakwah, mencari titik temu dalam berdakwah merupakan kunci keberlangsungan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah. Kita harus bisa mencari kalimatun sawa’ dalam mensikapi perbedaan keduanya.
Sikap ini telah dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW dalam berbagai dakwahnya. Dikala beliau mensikapi dan mencari titik temu antara kaun Nasrani dalam mempertahankan ideologinya meskipun mereka tahu kebenaran risalah yang telah Nabi emban. Di mana hakikat kedua agama ini, sama-sama berasal dari Allah. Sehingga Nabi mencari jalan tengah dalam menyikapinya karena misi dan visi yang mereka emban adalah sama, yaitu bertauhid, li I’lai kalimatillah, dan tidak berbuat musyrik kepada Allah.
c). Tawassuth
Tawassuth, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk sikap tatharruf (ekstrim), baik dalam bidang agama maupun politik, karena sikap tersebut mengarah pada kekerasan dan disintegrasi. Pengertian tawassuth bukanlah serba kompromistis dengan mencampuradukkan semua unsur (sinkretisme). Demikian pula bukan mengucilkan diri dengan menolak pertemuan dengan unsur apapun.
Memang sejak semula, Islam lahir dengan membawa segala kebaikan dan itu pasti berada di dua ujung, yakni tatharruf (sifat mengujung dan ekstremisme). Sikap ini perlu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, agar sikap serta tingkah laku umat Islam selalu menjadi saksi dan pengukur kebenaran bagi semua sikap dan tingkah laku manusia pada umumnya.
Manifestasi prinsip tawassuth ini, telah tercermin dalam beberapa bidang. Antara lain: 1). Pada bidang akidah, 2). Pada bidang syari’ah, 3). Pada bidang mu’asyarah (pergaulan) antar golongan, 4). Pada bidang kehidupan bernegara, 5). Pada bidang kebudayaan, dan 6). Pada bidang dakwah
Sikap-sikap yang penulis sebutkan di atas haruslah benar-benar diterapkan dalam berinteraksi sosial, karena ketiga sikap tersebut akan menjauhkan kita semua dari sifat eksklusif (i’tizal).

4. Bahaya Mengkafirkan Seorang Muslim
Semakin banyaknya aliran yang masuk ke negeri ini, semakin banyak pulalah pemahaman yang berkembang. Kita tahu, bahwa dalam keberagaman kehidupan ini akan semakin tampak perbedaan. Namun yang harus kita sadari, kebenaran adalah mutlak milik Allah semata. Mengatakan “kafir” terhadap sesama muslim merupakan hal yang telah dilarang oleh Rasulillah, sebagaimana beliau bersabda:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُحَدِّثُ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَى الآخَرِ »
Artinya.. Rasulillah bersabda “jika seseorang memangil pada kawannya “hai kafir...” maka sungguh telah terkena salah satu. Kalau yang dikatakan memang demikian, apabila tidak demikian maka akan kembali pada orang lain.

Hadis di atas menegaskan, bahwa menghukumi seorang muslim sebagai orang kafir adalah suatu tindakan yang membawa kebinasaan tanpa pahala yang diharapkan darinya, dan ini bukan tugas dan kewajiban syari’ah yang dibebankan kepada setiap pribadi. Para nabi tidak dibenarkan menghukum seseorang kecuali apa yang tampak (zahir) apalagi kita sebagai umatnya.
Oleh karenanya, siapa yang menghukum diluar dari apa yang tampak dengan alasan bahwa apa yang mereka tampakkan itu baru kemungkinan saja bukan yang sesungguhnya, maka dia telah menyalahi al-Qur’an dan hadis. Dan ini jelas-jelas telah keluar dari kebenaran yang murni (bersikap i’tidal) dari ajaran Islam.

5. Dialog dalam Berdakwah
Diibaratkan ada sebuah sungai, dialog adalah jembatannya (tali penghubung). Sehingga satu sisi dengan sisi yang lain bisa dipertemukan. Bilamana antara da’I dan mad’u terjadi perbedaan maka dialog sangat dibutuhkan untuk mencari sisi perbedaan dan kesamaan, yang pada akhirnya tercapai sebuah solusi.
Antara dialog dan debat merupakan dua sisi yang berbeda. Biasanya dalam perdebatan akan terjadi perseteruan, meski hanya perseteruan pada lisan. Perdebatan senantiasa bermuara pada permusuhan yang diwarnai oleh fanatisme terhadap pendapatnya masing-masing pihak dengan merendahkan pendapat pihak lain. Sedangkan dialog yang dalam redaksi al-Qur’an menggunakan lafad “al-hiwar” dan disebut sebanyak 7 kali di dalam al-Qur’an.
Dalam berinteraksi social, manusia selalu dihadapkan pada warna-warni sosial, yang kadangkala apabila disikapi secara berlebihan ataupun berbeda pandangan, maka akan terjadi benturan yang mengakibatkan sebuah konflik sosial. Sebagai sunnatullah, lagi-lagi da’I selalu dihadapkan pada kompleksitas manusia. Oleh karenanya, perbedaan harus disikapi secara arif dan bijaksana.

C. KESIMPULAN
Dakwah Islam mesti disampaikan dengan cara yang bijaksana (hikmah), komunikatif (maw’idhah hasanah), dan dialogis (jadal). Menurut Yusuf Qardlawi (2002), hikmah berarti rasional sesuai tuntutan akal dan bukti empiris; maw’idlah bermakna penuh pertimbangan etika dan kesantunan; serta jadal menunjuk pentingnya dialog antariman dengan cara-cara yang baik, terpuji, dan elegan tanpa dibarengi prasangka, permusuhan, kedengkian, penindasan, diskriminatif, memarginalkan maupun mengkafirkan.
Itu semua dibentuk dengan adanya prinsip tasammuh, tawazun, dan tawassuth dalam segala aktifitas. Tawassuth adalah cara membawakan atau menampilkan agama secara kontekstual. Sedangkan I’tidal adalah menyangkut kebenaran kognitifnya. Tawassuth dan I’tidal akan melahirkan tasammuh. Jadi tawassuth itu menjelaskan posisi, I’tidal adalah akurasi dan konsistensinya, sedangkan gabungan dari semua itu akan melahirkan tawazun.
Kekufuran sebagai sasaran dakwah, bukanlah sebuah legitimasi absah untuk memerangi para pelaku kekufuran tersebut secara fisik. Dakwah tidak menghendaki orang-orang kafir itu dibantai dan diperangi pelakunya, melainkan diperintahkan untuk didakwahi sifat dan perilakunya.

D. RUJUKAN
Muzadi, Ahmad Hasyim. 2006. Islam Rahmatan lil-‘Alamin, Menuju Keadilan dan perdamaian Dunia (Perspektif Nahdlatul Ulama). Surabaya. DEPAG Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel.

Yakan, Fathi. Cet. Pertama 2004 & Cet. Ke-II 2005. Problematic Dakwah dan Para Da’i. Solo. Era Intermedia.

Suparta, Munzier & Hefni, Harjani. 2006. Metode Dakwah. Jakarta. Rahmat Semesta.

Muzadi, Abdul Muchith. 2007. NU dalam Perspektif Sejarah & Ajaran. Surabaya. Khalista.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

IBNU RUSHDY

0 komentar
A. PENDAHULUAN
Mayoritas umat muslim diseluruh dunia apalagi di negara ini, menganggap telah cukup dengan hasil ijtihad para mujtahid terdahulu yang tertulis dalam kitab-kitab klasik. Mereka merasa takjub dengan pusaka peninggalan Islam yang lengkap serta amat percaya dengan ahli-ahli fiqh kita yang karismatik di zaman lampau, mereka berpendapat bahwa dewasa ini tidak lagi dibutuhkan ijtihad baru, sebab tiada masalahpun yang tertinggal dari pendapat-pendapat ulama terdahulu. Semua masalah yang kita jumpai sekarang hakikatnya bisa kita jumpai dalam kitab-kitab klasik yang telah didokumentasikan secara rapi. Bahwa dalam kitab-kitab tersebut telah memuat hal-hal yang diduga akan terjadi oleh para mujtahid terdahulu, sehingga apa yang terjadi sekarang sebenarnya telah tercover dalam kitab-kitab tersebut.
Memang harus kita akui bahwa nilai-nilai pusaka yang ditinggalkan para pendahulu kita sungguh luar biasa, terutama peninggalan dari abad kejayaan Islam, dimana perkembangan ilmu-ilmu keislaman mencapai tahap sempurna pada saat itu. Para ulama bisa menggapai dalam segala bidang ilmu, tidak hanya urusan akidah dan ibadah, namun mereka juga ahli di bidang filsafat dan sains, seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina. Sekalipun demikian, kitapun harus menyadari bahwa hasil ijtihad mereka itu terbatas pada masalah-masalah yang terjadi saat itu, kalau toh ada hasil ijtihad tentang hal-hal yang diprediksi bakal terjadi jumlahnya sangat terbatas, dan belum menyentuh masalah-masalah kontemporer yang terjadi dewasa ini.
Ingat….!!!! Zaman terus melaju Bung.. Perkembangan dan peradaban manusia terus berjalan, selama itu terjadi permasalahan tidak akan pernah pudar. Sebuah pencerahan bagi kita dengan lahirnya sosok yang karismatik, intelek, dan ilmuwan, yaitu al-Imam Ibnu Rushdi dikalangan orang-orang barat dikenal dengan sebutan Averrous. Karena peran besar beliaulah pada masa itu, filsafat plato, aristoteles, Phitagoras, ataupun Euclides dengan karya-karyanya masih tetap terpelihara sampai sekarang.

B. PEMBAHASAN
Adalah Ibnu Rushd seorang faqih, qadhi dan filsuf kenamaan yang di Barat dikenal dengan sebutan Averroes, Pemikiran beliau yang sering dikaji di kaum sarungan ‘’Pesantren’’ hanya-lah produk pemikiran fiqh-nya yang tertuang dalam kitab yang berjudul Bidayah al-Mujtahid. Para santri belum akrab dengan karya-karya beliau seperti Tahafut-tahafut al-Falasifah (kitab yang berisikan penyerangan terhadap pemikiran sang Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali yang tertuang dalam dua karya al-Ghazali yang bertitel Tahafut al-Falasifah dan Munqidz min al-Adhlalal), atau kitab Fash al-Maqal yang membahas tentang kesesuaian akal dan wahyu atau filsafat dan agama.
Dengan segala keterbatasan pemahaman yang saya dapatkan, sebenarnya saya kesulitan untuk menyibak sisi sosiologis beliau. Berbicara tentang Ibnu Rushd adalah berbicara tentang akal yang pernah ditolak oleh masyarakatnya, dan diterima oleh masyarakat lain yaitu dunia Barat. Sangat sulit memang untuk membahas secara sosiologis kegagalan pemikiran Ibnu Rushd dalam konteks Islam atau menyingkap sebab-sebab sosial yang mengakibatkan pemikiran Ibnu Rushd gagal dilingkungan Islam sendiri. Padahal menurut Hasan Hanafi pemikiran Ibnu Rushd adalah sebuah proyek besar yang ia persembahkan untuk masyarakatnya, yaitu masyarakat Islam.

1. Tempat lahir dan masa kecil
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ahmad ibnu Rusydi. Kunyahnya adalah Abu al-Walid dan laqabnya ialah al-Hafid. Ia berumur 75/72 tahun dilahirkan di kota Cordoba pada tahun 520 H/1126 M dan wafat pada tahun 595 H/ 1198 M di Marakisy. Dia adalah seorang ahli filsafat, matematika, kedokteran, dan fiqh. Ayahnya sebagai seorang ahli hukum yang taat beribadah dan cukup berpengaruh di Cordoba yang bermadzhab maliki, banyak pula saudaranya yang menduduki posisi penting di pemerintahan. Latar belakang keluarga tersebut sangat mempengaruhi proses pembentukan tingkat intelektualitasnya di kemudian hari.
Di lingkungan keluarga yang kondusif ini, beliau memanfaatkan seoptimal mungkin untuk kegiatan keilmuan, sehingga ia tidak pernah absen dari kegiatannya kecuali hanya dua malam. Pertama; ketika ayahnya meninggal, kedua; di malam pertama. Jadi, tidak heran apabila beliau sampai menjadi seorang tokoh yang disegani sekaligus kemahirannya dalam disiplin ilmu. Kemahirannya dalam bidang fiqh, ini tak lepas dari tangan dingin ayahnya sekaligus guru pertama yang telah mengenalkannya. Melalui ayahnya ini, beliau dapat menghapal kitab al-Muwattha’ karangan imam Malik.

2. Guru dan Rekan Sejawat
Seperti yang telah penulis uraikan di atas, bahwa guru yang pertama yang berperan dalam penddikan adalah ayahnya sendiri, yang telah mengenalkannya pada fiqh, selain itu adalah al-Hafizh Abu Muhammad ibn Rizq, Abu al-Qasim, Ibnu Basykuwal, Abu Marwan, Ibnu Masarrah, Abu Bakar ibn Samhun, Abu Ja’far ibn Abd al-Aziz dan Abdullah al-Ma’zari. Para ilmuwan selain beliau di masa tersebut adalah : Aziz al-Bahri (ahli dibidang geografi), Ibnu Bajah (ahli dibidang fisika, musik, dan komentator karya-karya Aristoteles), Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad al-Gafiqi (dibidang obat-obatan), Muhammad al-Mazini (ahli geografi), Ibnu Thufail (ahli filsafat dan kedokteran), Jabir ibn Aflah ibn Muhammad (ahli trigonometeri), dan Ibnu ‘Arabi (seorang tokoh sufi).

3. Sosio-histori, sosio-politik, sosio-ekonomi pada masanya
Sosio-History
Dalam kehidupannya, ahli sejarah telah menacatat bahwa beliau termasuk orang yang dekat dengan penguasa pada saat itu, berkat jasa baik sahabat karibnya yaitu Ibnu Thufail (W. 581H/1185M) yang telah memperkenalkan dirinya kepada penguasa, sehingga terjalin erat dengan kerajaan. Pada tahun 548 H/1153 M ia di panggil oleh khalifah Abd al-Mu’min ke Marakisy (ibu kota dinasti al-Muwahhidun) untuk memberikan sumbangan pemikiran pada lembaga pendidikan yang telah didirikan di sana. Setelah khalifah meninggal, tampuk kepemimpinan berpindah kepada putra agung yang bernama Yusuf Ibn Abd al-Mu’min, kemudian oleh Ibnu Thufail beliau diperkenalkan kepada penguasa ke-III dari dinasti al-Muwahhidun tersebut. Tak lama kemudian beliau mendapat kepercayaan sekaligus sebagai pengganti Ibnu Thufail sebagai dokter kerajaan karena termakan usia yang semakin senja.
Berawal dari hubungan pemikiranya dengan kebijakan al-Muwakhidun ini, Ibnu Rushd dijadikan tempat rujukan persoalan keagamaan masyarakatnya. Perlu diingat bahwa kenyataan yang sangat menentukan hubungan erat antara Ibnu Rushd dengan penguasa ini adalah tertumpu pada persoalan landasan ideologi dan pemikiran, karena pijakan dasar ideologi pemerintahan al-Muwahhidun tersumber dari pesan keagamaan yang mengembangkan bentuk filosofis. Pandangan ini merupakan hasil gagasan pendirinya Muhammad Bin Toumert yang membangun akidah negara berdasarkan korelasi antara wahyu dan akal, jargon yang digulirkan untuk mengembangkan landasan akidah itu adalah “Meninggalkan taklid dan kembali pada ushul”, hal inilah yang kemudian menjadi kontribusi besar bagi pribadi Ibnu Rushd dalam merekonstruksi pemikiran filsafat melalui proyek pembacaan kembali kepada ushul filsafat, terutama filsafat Ariestoteles.
Kepercayaan khalifah ke-III ini semakin kuat terbukti dengan diangkatnya Ibnu Rushd sebagai hakim di Sevilla (565H/1169M), berselang dua tahun kemudian beliau diangkat sebagai hakim di kota kelahirannya, yaitu Kordoba. Di kota inilah akhirnya Ibnu Rushd bisa menyelesaikan buku-buku karangannya, antara lain mengenai kalam dan penafsiran buku-buku Aristoteles. Tak lama setelah beliau di angkat menjadi hakim, khalifah Yusuf meninggal dan digantikan oleh putranya bernama Ya’qub al-Manshur Billah, yang pada awal kepemimpinannya melakukan hal serupa dengan ayahnya, bahkan seringkali berdialog seputar pemikiran filsafat sehingga Ibnu Rushd tidak segan mengatakan “dengarkan hai saudaraku….”. Kedekatan inipun membuat gerah pribadi Ibnu Rushd dari kecurigaan orang-orang yang membencinya, khususnya para fuqaha konservatif yang menentang tulisan-tulisan beliau yang lebih mendukung kepada ajaran filsafat. Sehingga Ibnu Rushd mengungkapkan bahwa “Sesungguhnya Amir al-Mukminin lebih banyak mendekatiku ketimbang aku mengharapkanya”. Kedengkian para fuqaha atas ketidak berdayaannya memahami pemikiran Ibnu Rushd, maka disaat mereka mampu mendekati khalifah al-Manshur, mereka berhasil mempengaruhi format negara yang semula bebas mengembangkan logika dan berusaha memadukan antara filsafaat dan wahyu, berubah menjadi berbalik menyerang yang langsung dikomandai oleh al-Manshur sendiri, lewat resolusi penguasa ini terjadilah pembakaran karya-karya Ibnu Rushd, selain itu, setelah penghakiman Ibnu Rushd secara terbuka di masjid agung Cordoba yang dihadiri para fuqaha dan jajaran pejabat serta masyarakat Maghrib.
Namun menurut hemat penulis, faktor pengasingan tersebut antara lain disebabkan adanya rasa cemberu kepada Ibnu Rushd karena selalu mendapatkan kedudukan tertinggi disisi khalifah, pembelaannya terhadap pengembangan ilmu filsafat, dan juga disamping faktor-faktor yang lain. Pengasingan beliau tidak berlangsung lama, karena khalifah memohon kepadanya untuk kembali ke Marakisy, kemudian tidak berlangsung lama juga di kota inilah beliau wafat (595H/1198M).

a. Sosio-Politik
Ibnu Rushd hidup dalam dua dinasti, yaitu dinasti Murabithun dan al-Muwahhidun. Kedua dinasti ini bermula dari gerakan keagamaan yang berubah menjadi politik. Untuk memperebutkan kekuasaaan, tak pelak kedua dinasti sering mengadu kekuatan militer, baik dari kalangan muslim sendiri maupun non-muslim. Dinasti al-Murabithun dipimpin oleh seorang tokoh spritual; Abdullah ibn Yasin, dengan seorang komandan militer bernama Yahya ibn Umar. Mereka dapat menaklukkan suku Sanhajah dan suku-suku di Sahara sampai ke Wadi Dar’ah, selain itu juga berhasil menaklukkan Sijilmasah pada tahun 447H/1055M.
Setelah Yahya ibn Umar wafat, komando militer dilanjutkan oleh adiknya; Abu Bakar ibn Umar, dan berhasil menaklukkan suku Barghawata sampai ke Laut Antlantik pada tahun 451H/1059M. Setelah itu tampuk kepemimpinan diserahkan kepada Yusuf ibn Tasyfin, ia berhasil menempatkan pusat pemerintahan di Marakisy. Setelah ia meninggal digantikan oleh putranya; Ali ibn Yusuf suatu imperium yang sangat luas termasuk Andalus. Pada tahun 522H/1129M dinasti al-Murabithun mengalami kekalahan di Cuhera, ditambah dengan pemberontakan dinasti al-Muwahhidun pada tahun 541H/1147M yang dipimpin oleh Abd al-Mu’min. setelah itu ia memperluas wilayah kekuasaannya jauh ke wilayah Timur. Tahun 547H/1152M Aljazair direbut, tahun 553H/1158M giliran Tunisia, dan dua tahun setelah itu Tripoli juga jatuh dalam genggamannya. Jadi, selama era Ibnu Rushd hidup gejolak politik tidak begitu kondusif atau stabil, selalu diliputi dengan peperangan/jihad untuk melawan orang-orang Kristen, disamping juga peperangan yang terjadi di antara umat muslim sendiri.
Kondisi inilah yang menambah semangat Ibnu Rushd berjihad melawan kebodohan, sehingga ia termotivasi untuk memperdalam berbagai disiplin ilmu.

b. Sosio-Ekonomi
Masyarakat Andalus adalah masyarakat heterogen, terdiri dari bermacam-macam suku. Mayoritas penduduk Andalus di masa Islam terdiri dari suku Arab, Barbar, dan Spanyol (sebagian beragama Islam, yang lain tetap beragama Yahudi dan Nasrani). Di sisi lain, Andalus memiliki sumber daya alam yang sangat potensial, terdapat tambang emas, perak, besi, dan timah yang melimpah. Keanekaragaman warga dan kekayaannya merupakan modal besar dalam membangun masyarakat, sehingga mereka mempunyai peradaban yang lebih maju dibanding daerah-daerah yang lain.
Dinasti al-Murabithun, dibawah komando Yusuf ibn Tasyfin, Andalus telah mencapai kemajuan yang pesat dibidang kebudayaan, perdagangan dan kesusastraan. Yang selanjutnya mampu membangun bangunan fisik seperti masjid agung Marakisy. Pembangunan di Andalus semakin maju pada pemerintahan al-Muwahhidun, terbukti dengan banyaknya perkantoran dan masjid. Baru pada abad VI H/XII M di Andalus telah didirikan pabrik kertas tulis, yang kemudian berkembang di Eropa, sebagai salah satu sumbangan Islam yang berharga dalam bidang grafika.
Kondisi demikian, sangat berpengaruh pada intelektualitas Ibnu Rushd yang hidup pada zaman yang telah maju peradabannya. Sehingga dalam memutuskan sebuah hukum, tak jarang ia selalu membandingkan pendapat-pendapat ulama terdahulu.

4. Fiqh Ibnu Rushd
Ibnu Rushd bukan hanya dikenal dalam bidang filasat maupun kedokteran, namun juga telah melahirkan beberapa karya fiqh, yang bernama Bidayah al-Mujtahid. Sayangnya sebagai kaum pesantren kita jarang membukanya apalagi menelaah. Dalam penulisan kitab tersebut, Ibnu Rushd menggunakan metode diskriptif, dengan mendiskripsikan pendapat-pendapat fuqaha’, baik yang telah disepakati maupun yang masih dipersilisihkan. Terhadap permasalahan yang masih dipersilisihkan, biasanya Ibnu Rushd memberikan komentar, baik secara ringkas, sederhana, maupun secara panjang lebar. Komentar-komentar itu berisi sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha berikut dasar-dasar yang mereka pegang. Setelah itu, kadang beliau juga mengemukakan pendapatnya dengan membandingkan pendapat-pendapat fuqaha, kemudian menguatkan salah satu di antara pendapat-pendapat tersebut.
Sesungguhnya metode dan karakter Ibnu Rushd dalam menyelesaikan sebuah kasus, patut kita tindak lanjuti sebagai langkah maju untuk menganalisa mana pendapat-pendapat di antara fuqaha yang paling rajih dan juga patut diterapkan pada saat ini. Di mana kita seringkali mengebiri maupun memperkosa dengan memaksakan bahwa pendapat tersebut cocok atau sesuai untuk diterapkan, padahal belum tentu dan kita patut untuk menganalisa terlebih dahulu karena apa yang kita miliki paling tidak sudah dianggap cukup untuk diaplikasikan.
Langkah ini lahir bukan dari ruang hampa, beliau melihat kecendrungan ulama pada masa itu terlalu memanjakan umatnya. Dengan hanya bermodalkan ta’liqat, men-syarahi kitab-kitab, dan penulisan catatan pinggir (hawasyi). Seharusnya umat diajarkan bagaimana menyelesaikan sebuah permasalahan dengan metode yang telah banyak dicetuskan oleh ulama-ulama madzhab. Sehingga penurunan kualitas keilmuan ini dianggap oleh beliau sebagai biang kerok kemunduran umat untuk selalu berfikir objektif, kreatif, dan inovatif.

5. Penyebaran Madzhab Ibnu Rushdy
Kehidupan rasional dalam tradisi pemikiran Islam mengalami proses pasang surut, setelah Ibnu Rushd meninggal dunia adalah merupakan titik kelemahan dinamika kreasi dan orisinalitas kesinambungan pemikiran Islam. Padahal sebelumnya, dalam beberapa dekade sejarah pemikiran Islam mengukir sejarah gemilang. Sameh Zaen menunjukan bahwa pasca meniggalnya Ibnu Rushd merupakan akhir redupnya kobaran pemikiran kreatif yang telah menyinari dunia Islam dalam beberapa abad.
Banyak kalangan menunjukan bahwa kegagalan pemikiran Ibnu Rushd sangat disebabkan oleh peran ideologi yang dimainkan oleh para fuqaha Maliki yang ada diseluruh barat Islam (Maghrib-Andalusia) ditambah dengan pembakaran hasil karya-karyanya, karena sejak kepandainnya dalam bidang filsafat dan sikap keterbukaannya telah mengantarkan pada posisi penting dalam pemerintahan al-Muwahhidun, tepatnya pada masa kerajaan Abu Ya’qub bin Abdul Mukmin bin Ali, berkat jasa baik sahabat karibnya Ibnu Thufail.
Adalah merupakan kenyataan sejarah bahwa pluralitas akidah dan aliran Fiqh dalam daratan Masyriq tidak berpengaruh dalam daratan Maghrib yang mayoritas beraliran Maliki. Selain dari pada itu, mayoritas masyarakat Maghrib yang barbarian masih menjadi penghalang kemajuan Andalusia, walaupun kita mengetahui bahwa penguasa-penguasa al-Muwahhidun mendorong keilmuan para sarjananya.
Dari hal diatas, kita dapat memahami kegagalan pemikiran Ibnu Rushd dari segi sosiologis, yang menurut Muhammad Arkon dapat dipusatkan pada satu faktor yaitu sedikitnya jumlah cendekiawan yang mengetahui baca tulis dalam bahasa Arab. karena pada saat itu, mayoritas terbesar penduduk Maghrib adalah barbarian, yang sudah tentu, alat komunikasi yang digunakanya adalah bahasa barbar.
Untuk mempertegas hal itu, menurut Arkoun bahwa penguasa-penguasa al-Murabithun (pemerintahan sebelum al-Muwahhidun) dan pemimpin thariqah-thariqah sufi hampir seluruhnya dari masyarakat Barbar. Maka jelas, mereka yang telah menyebarkan Islam dengan jalan penggunaan “budaya oral”, fenomena sosio-kultur dan bahasa inilah yang telah meluas dalam sepanjang sejarahnya.
Pada konteks yang sama, tragedi yang menimpa Ibnu Rushd disebabkan oleh faktor politik, menurut Dr. Muhammad ‘Abied al-Ghabirie faktor ini adalah penyebab utama atas tragedi yang menimpa Ibnu Rushd. Karyanya “al-Dharuri Fi al-Siyasah” merupakan bukti kuat atas pandangan Ghabirie, karena menurutnya karya itu ditulis ketika al-Muwahhidun pada masa kerajaan al-Manshur dalam keadaan krisis. Maka dapat disimpulkan bahwa karya itu ditulis sebagi usaha Ibnu Rushd dalam melakukan “reformasi politik” (al-Ishlah al-Siyasi), diskurkus yang digulirkanya dalam karya itu tidak tertuju pada kondisi politik Islam secara umum, namun yang lebih penting adalah perhatianya terhadap realitas Andalusia, realitas bangsanya sendiri. Maka dalam karya ini Ibnu Rushd sengaja mengkritik kondisi kediktatoran penguasa dan pandangan-pandangan para Fuqaha yang menurutnya merupakan sebab utama hilangnya pemikiran Islam dan keredupan cahayanya, karena saat itu, mereka adalah jumlah yang terbesar yang tersebar dikota Andalusia dan dunia Islam.
Dalam keadaan yang demikian, pantas untuk dikata bahwa Ibnu Rushd adalah akal yang ditolak oleh budaya Islam, tersingkir dari sentral pemerintahan atas nama Islam yang dikuasai oleh diskursus Ghozali-Asy’ari.
Adalah merupakan kenyataan sejarah yang sulit dibantah bahwa setiap penggalan sejarah manusia atau masyarakat manapun selalu ada pertentangan dan perseteruan antara berbagai aliran pemikiran atau sudut pandang, namun buru-buru yang harus menjadi perhatian bahwa dalam dunia Islam, sikap yang berkembang dalam menyikapi pertentangan pemikiran itu selalu saja memenangkan sebuah pemikiran dan memarginalkan pemikiran lain, walaupun hakekatnya kewibawaan suatu pemikiran tidak berarti menghilangkan secara utuh pemikiran yang lain, namun tanpa dapat dipungkiri dibalik itu ada akibat yang muncul bahwa pemikiran yang lain tidak dapat diterima dalam pentas pemikiran dan kejadian.

C. Kesimpulan
Kebesaran Ibnu Rushd sebagai seorang pemikir sangat dipengaruhi oleh zeitgeist atau jiwa pada zamannya. Abad ke-12 dan beberapa abad sebelumnya merupakan zaman keemasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Dunia Islam, yang berpusat di Semenanjung Andalusia (Spanyol). Para penguasa muslim pada masa itu mendukung sekali perkembangan ilmu pengetahuan, bahkan mereka sering memerintahkan para ilmuwan untuk menggali kembali warisan intelektual Yunani yang masih tersisa, sehingga nama-nama ilmuwan besar Yunani seperti Aristoteles, Plato, Phitagoras, ataupun Euclides dengan karya-karyanya masih tetap terpelihara sampai sekarang.
Liku-liku perjalanan hidup pemikir besar ini sangatlah menarik. Ibnu Rushd dapat digolongkan sebagai seorang ilmuwan yang komplit. Selain sebagai seorang ahli filsafat, ia juga dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang kedokteran, sastra, logika, ilmu-ilmu pasti, di samping sangat menguasai pula pengetahuan keislaman, khususnya dalam tafsir al-Qur’an dan Hadis ataupun dalam bidang hukum dan fikih. Bahkan karya terbesarnya dalam bidang kedokteran, yaitu al-Kulliyat fi at-Tibb atau (Hal-Hal yang Umum tentang Ilmu Pengobatan) telah menjadi rujukan utama dalam bidang kedokteran
Hal terpenting dari kiprah Ibnu Rushd dalam bidang ilmu pengetahuan adalah usahanya untuk menerjemahkan dan melengkapi karya-karya pemikir Yunani, terutama karya Aristoteles dan Plato, yang mempunyai pengaruh selama berabad-abad lamanya. Antara tahun 1169-1195, Ibnu Rushd menulis satu segi komentar terhadap karya-karya Aristoteles, seperti De Organon, De Anima, Phiysica, Metaphisica, De Partibus Animalia, Parna Naturalisi, Metodologica, Rhetorica, dan Nichomachean Ethick. Semua komentarnya tergabung dalam sebuah versi Latin melengkapi karya Aristoteles. Komentar-komentarnya sangat berpengaruh terhadap pembentukan tradisi intelektual kaum Yahudi dan Nasrani.
Terakhir... “ketika selesai sebuah perkara maka akan nampak jelaslah kekurangannya”, karena itu saya sadar sepenuhnya bahwa makalah ini masih terlalu jauh dari memuaskan, mungkin masih banyak sekali hal-hal yang terkait dengan sejarah Ibnu Rushd yang belum mampu penulis sajikan. Namun, saya tidak akan minta kritik apapun, sekali lagi saya tidak akan minta kritik apapun yang konstruktif sekalipun. Saya ngeri mendengarnya, terima sajalah permintaan maaf saya. Sekian, semoga bermanfaat.
Waallahu a’lam…………………………………………………………………………………..
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

HERMENEUTIKA VS TAFSIR AL-QURAN

0 komentar
A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini, hermeneutika sebagai sebuah metode tafsir sedang digandrungi oleh para intelektual muslim Indonesia. Diskusi-diskusi tentang hermeneutika marak dikembangkan kelompok-kelompok Islam seperti Paramadina, JIL dan lain sebagainya. Hermeneutika identik dengan kajian sebuah teks. Karena berkaitan dengan sesuatu yang berupa teks, merekapun mencoba metode tersebut untuk menguji berbagai teks Islam, termasuk juga al-Quran. Al-Quran berupa teks. Maka tentu al-Quran juga dapat dipelajari dengan metode hermeneutika.
Al-Quran sebagai sebagai sebuah kitab suci umat Islam telah, sedang dan akan selalu ditafsirkan. Posisi al-Quran yang diturunkan sebagai pedoman seluruh umat manusia menuntut untuk dapat dipahami secara sempurna dan menyeluruh. Karena itu, ilmu tafsir diperlukan untuk mempelajari dan memahami isi dan makna al-Quran. Menurut para pemikir Islam yang sedang gandrung dengan hermeneutika, tafsir al-Quran yang ada sekarang, hampir semuanya adalah klasik, tidak kontemporer dan sudah tidak relevan lagi. Tafsir al-Quran yang selama ini banyak dikaji dan dipelajari adalah hasil pemikiran para Mujtahid dan ahli tafsir tempo dulu. Padahal kondisi dan keadaan pada masa dahulu tentu berbeda dengan masa sekarang.
Al-Quran menurut para penganut hermeneutika terlalu dikultuskan oleh para mufassir. Al-Quran dianggap sebagai The word of God (sabda Tuhan) yang abadi dan harus dibaca secara literal serta diyakini benar selamanya, akibatnya tidak ada tradisi kritisisme tekstual terhadap al-Quran sebagaimana terjadi pada Bibel dan The new testament (perjanjian baru). Karenanya, mereka menyerukan perlunya dekonstruksi atas metode tafsir yang sudah mapan dalam Islam tersebut.
Mereka menganggap bahwa al-Quran kini sudah saatnya ditafsirkan ulang sesuai dengan kondisi saat ini termasuk juga metode penafsirannya. Mereka berargumen bahwa umat Islam tidak boleh terkurung dan terpasung dengan pemikiran para Ulama masa silam. Juga ayat al-Quran yang hanya ditafsirkan secara tekstual harus diganti, karena konteks peradaban menuntut adanya penyesuaian yang signifikan. Alternatif yang mereka tawarkan adalah penafsiran dengan metode hermeneutika. Bagi mereka, adalah sebuah langkah maju kalau gagasan hermeneutika diaplikasikan dalam quranic studies. Alasannya, dengan hermenutika hal-hal yang berbau kemapanan, hegemoni, ideologisasi dan standarisasi penafsiran teks akan tampak jelas dan rasional. Namun apakah memang seperti itu, karena kita semua tahu bahwa, istilah hermeneutika adalah kosakata Barat yang erat kaitannya dengan interpretasi Bibel. Dalam makalah ini, kami akan mencoba memberikan analisa kritis tentang hermeneutika. Benarkah hermeneutika cocok diaplikasikan dalam penafsiran al-Quran? Dan apakah hermeneutika memang layak disinonimkan atau bahkan menggantikan posisi ilmu tafsir al-Quran?
Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat dan menyadarkan umat Islam bahwa masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Bukan hanya tantangan dari luar Islam namun juga dari kalangan umat Islam sendiri. Karenanya, umat Islam harus tetap waspada terhadap berbagai tantangan yang ada. Semuanya demi menjaga dan menegakkan syariat Islam serta dalam rangka melaksanakan tugas kita sebagai umat Islam, yaitu li I’lai kalimatillah.

B. Definisi Tafsir al-Quran dan Hermeneutika
Secara etimologis, kata tafsir berasal dari kata bahasa arab fassara, yang artinya menerangkan atau menjelaskan. Kata tafsir disebutkan secara eksplisit dalam surat al-Furqan ayat 33; ولا يأتونك بمثل إلا جئناك بالحق واحسن تفسيرا yang artinya: Tidaklah (orang-orang kafir) medatangkan kepadamu sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. Adapun secara terminologis, tafsir adalah ilmu untuk mengetahui dan memahami makna, hukum serta hikmah kitab Allah (al-Quran).
Hermeneutika menurut etimologis merupakan derivasi dari akar kata hermoneuin yang berarti menafsirkan. Ada pula yang berpendapat bahwa hermeneutika adalah perpaduan dari kata hermes dan theth yang artinya mengungkap fikiran seseorang yang berupa kata-kata. Selanjutnya arti hermeneutika berkembang menjadi sebuah ilmu interpretasi alegoris, yaitu metode memahami teks dengan mencari makna yang lebih dalam dari sekedar pengertian literal. Sedangkan secara terminologis, The New Encyclopedia Britania menyebutkan bahwa heremeneutika adalah studi prinsip-prinsip umum tentang interpretasi Bible (the study of the general principle of bibilical interpretation). Tujuannya untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. Hermeneutika diasosiasikan kepada Hermes, seorang utusan dewa dalam mitos Yunani kuno. Hermes bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan para dewa yang masih samar ke dalam bahasa yang dimengerti manusia. Para pendukung hermeneutika menganggap bahwa peran Hermes tersebut sama dengan peran Rasulullah Muhammad yang menyampaikan risalah Allah melalui al-Quran kepada umat manusia. Karena itu, hermeneutika dianggap sinonim dengan tafsir yang menjelaskan al-Quran. Menurut penulis, logika tersebut terkesan sangat simplistik. Seperti menyamakan manusia dengan kera. Apabila manusia berkaki dan bertangan dua, begitu pula kera, maka apa berarti manusia sama dengan kera? Padahal jelas bahwa manusia jauh beda dengan kera, baik dalam fisik secara keseluruhan maupun psikologinya. Begitu pula dengan hermeneutika dan tafsir. Meski diantara keduanya terdapat berbagai persamaan, namun keduanya memiliki lebih banyak perbedaan yang akhirnya tidak mungkin menyamakan atau mensinonimkan keduanya. Bahkan juga tidak mungkin mengaplikasikan hermeneutika ke dalam tafsir al-Quran.

1. Sejarah Tafsir Dan Problematika Hermeneutika
Dari segi epistimologis, hermeneutika bersumber pada akal semata , sehingga hermeneutika mengandung unsur dugaan, keragu-raguan dan asumsi. Sedangkan tafsir sumber epistimologisnya adalah wahyu dan Nabi. Karena itu, tafsir terikat dengan apa yang disampaikan dan dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Allah berfirman:
وما أنزلنا عليك الكتاب الا لتبين لهم
“Kami tidak menurunkan Al-Kitab ini kepadamu , melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka.” QS. An-Nahl;64.
Jadi, Rasulullah menyampaikan, menerangkan dan menjelaskan isi al-Quran. Jika ada diantara para sahabat yang tidak mengerti tentang al-Quran, mereka merujuk dan menanyakan langsung kepada Rasulullah yang langsung menerangkan maksud ayat tersebut. Ketika setelah Rasulullah wafat, penafsiran al-Quran, penafsiran al-Quran dilakukan dengan cara meneliti makna suatu ayat dari dalam al-Quran sendiri, karena ayat al-Quran satu sama lain itu saling berkaitan dan menafsirkan (al-Quranu yufassiru ba’dhuhum ba’dhan). Kemudian merujuk pada penafsiran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW serta memperhatikan asbab al-nuzul (sebab musabab turunnya ayat). Sekiranya penjelasan tentang suatu ayat tertentu tidak ditemukan dalam al-Quran dan hadist, baru kemudian dilakukan ijtihad. Ijtihad itupun dilakukan berdasarkan pada kemampuan dan wawasan keilmuan baik bahasa maupun agama yang tinggi serta tidak terlepas dari koridor tata krama penafsiran yang telah digariskan. Jadi anggapan bahwa tafsir itu relatif adalah sebuah kekeliruan, karena meski terdapat puluhan bahkan ratusan buku tafsir al-Quran, namun semuanya tidak saling bertentangan dan justru saling melengkapi.
Selain tafsir al-Quran, ilmu-ilmu pendukung dalam penafsiran juga sudah sangat mapan. Kajian yang sistematis tentang qiraah (bacaan), tarikh al-Quran (sejarah), asbab al-nuzul (sebab turunnya), al-nasikh wal-mansukh (ayat yang mengabrogasi dan ayat yang diabrogasi), al-muhkam wal-mutasyabihat ( ayat-ayat yang jelas dan samar), i’rab al-Quran (analisa grammar al-Quran), al-amtsal (perumpamaan) dan lain sebaginya telah terkodifikasi serta menjadi acuan setiap mufassir dalam menafsirkan al-Quran.
Ilmu-ilmu diatas menjadi syarat yang harus dimiliki oleh setiap orang yang akan menafsirkan al-Quran. Para mufassir harus memiliki kredibilitas dan wawasan keagamaan yang matang agar tidak terjadi penyimpangan penafsiran. Jika ayat-ayat al-Quran ditafsirkan sesuka hati, maka akan terjadi kerancuan dan kebingungan dalam penafsiran seperti yang pernah dilakukan oleh kelompok Inkar as-Sunnah, Ahmadiyah dan lain-lain. Syarat seperti inilah yang nantinya membedakan antara tafsir dan hermeneutika. Keterangan diatas menunjukkan bahwa tafsir beserta ilmu-ilmu pendukungnya telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang sangat matang dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam Islam serta al-Quran.
Berbeda dengan sejarah tafsir al-Quran yang sudah mapan dan mengakar kuat dalam Islam, hermeneutika muncul di Barat yang didominasi oleh konsep ilmu yang skeptik. Hal tersebut menjadikan konsep yang ditawarkan oleh para hermeneut tentang makna, kandungan dan teori hermeneutika itu sendiri terus mengalami berbagai perubahan, perbedaan bahkan pertentangan. Jean Grondin, salah seorang tokoh hermeneutika menyatakan dalam bukunya bahwa sebenarnya universalitas hermeneutika masih marupakan tantangan yang perlu diperjelas lagi. Teori hermeneutika Friedrich D.E. Schleirmer misalnya, diubah dan dikritik oleh para hermeneut (pengaplikasi hermeneutika) lain seperti Wilhem Dilthey, Jurgen Habermas dll. Yang terjadi kemudian adalah muncul banyak sekali aliran hermeneutika. Ada hermeneutics of Betti yang digagas oleh Emilion Betti, hermeneutics of Hirsch yang diciptakan oleh Eric D. Hirsch, hermeneutics of Gadamer yang digagas oleh Hans George Gadamer, hermeneutics of Dilthey, hermeneutics of Heidegger dan masih banyak lagi. Kenapa dalam hermeneutika muncul banyak aliran, padahal objek dan sudut pandang kajiannya adalah satu? Jawabannya adalah karena teori tentang hermeneutika dibangun atas spekulasi akal, karenanya konsep dan teori mereka tidak jelas dan selalu mencari bentuk kebenaran dan konsep mutlak hermeneutika itu sendiri dengan tiada henti. Selain itu, penggunaan hermeneutika selalu terkait dengan kepentingan pihak yang menggunakannya atau tidak obyektif. Paul Recour dalam bukunya yang berjudul Hermeneutic Tradition menyatakan: I should acknowledge that hermeneutic is not neutral (saya harus mengakui bahwa adanya hermeneutika itu tidak netral/obyektif)
Tujuan hermeneutika sebagai sebuah metode interpretasi dalam memahami al-Quran untuk dapat memperoleh ketepatan pemahaman (subtilitas intelegendi) dan penjabaran (subtilitas ecsplicandi) memang sepintas mengandung kebenaran. Namun melihat banyaknya ragam dan model hermeneutika, masih perlu dipertanyakan lagi metodologi hermeneutika mana yang benar untuk mencapainya. Kemudian kenapa hanya mengambil hermeneutika tertentu dan menolak yang lain, seperti contoh fazlur Rahman yang lebih setuju pada hermeneutika Betti dan menolak hermeneutika Gadamer? Apakah hermeneutika yang dipakai itu benar-benar menjamin dapat menunjukkan pengertian dan makna sebenarnya dari al-Quran? Tidak adanya tashawwur (persepsi) yang jelas menyangkut apa yang disebut hermeneutika inilah yang menyebabkan kaum nahdliyin dalam Muktamar NU ke-31 lalu menolak penggunaan hermeneutik dalam al-Quran.

2. Apakah al-Quran Memerlukan Hermeneutika
Melihat pada sejarah singkat tafsir dan problematika hermenutika diatas, konsep hermenutika yang saat ini begitu semangat dipropagandakan, sangat tidak applicable terhadap al-Quran. Hermeneutika dibangun atas faham relatifisme. Hermeneutika berlandaskan pada pedoman bahwa segala penafsiran al-Quran itu relatif. Padahal, fakta menunjukkan bahwa para Mufassir sepanjang masa tetap memiliki pedoman-pedoman pokok dalam menafsirkan al-Quran.
Dasar hermeneutika yang mengkaji sebuah teks hanya dari segi linguistik memunculkan banyak sekali gagasan maupun konsep-konsep hermeneutik yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Seperti contoh gagasan para hermeneut bahwa penafsir bisa lebih mengerti lebih baik daripada pengarang, mustahil dapat terjadi dalam al-Quran. Tidak pernah ada seorang mufassir al-quran yang mengklaim bahwa dia lebih mengerti dari pencipta atau pengarang al-Quran, yaitu Allah SWT. Pencipta al-Quran adalah Allah yang memiliki pengetahuan absolut dan tak terbatas, sedangkan penafsirnya adalah manusia yang memiliki keterbatasan pengetahuan. Oleh karena itu tidak mungkin seseorang dari generasi manapun yang mampu memahami teks al-Quran secara sempurna sesuai yang dikehendaki penciptanya.
Konsep hermeneutika yang berpedoman bahwa interpretasi teks yang berdasarkan doktrin dan bacaan yang dogmatis harus ditinggalkan dan dihilangkan (deabsolutisasi) juga tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai umat Islam, kita harus meyakini bahwa al-Quran adalah sebuah mukjizat dan berbeda dengan teks-teks biasa. Doktrin kebenaran al-Quran semuanya bersumber kepada Allah dan menjadi syarat keimanan umat Islam. Seperti keimanan pada sesuatu yang bersifat ghaib dan tidak dapat dibuktikan secara empiris. Umat Islam harus mempercayai bahwa al-Quran adalah sebuah teks kitab suci yang sakral dan berbeda dengan teks-teks yang lain, termasuk Bible. Pendapat Nasr Hamid Abu Zayd yang menyatakan bahwa al-Quran sebagai sebuah teks pada dasarnya adalah produk budaya, teks historis dan linguistik sehingga tidak berbeda dengan teks produk akal manusia lain adalah salah dan bertentangan dengan dasar keimanan. Oleh sebab itu, Pernyataan Muhammad Shahrur yang menyatakan bahwa syarat utama penelitian al-Quran yang objektif adalah melakukan studi teks tanpa mengikutsertakan sentimen, kepercayaan dan dogma apapun, tentu tidak dapat diterima. Begitu pula konsep hermeneutika modern yang dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher yang menempatkan semua jenis teks pada posisi yang sama, tanpa memperdulikan apakah teks itu devine (dari Tuhan) ataupun bukan jelas tidak dibenarkan dalam Islam. Kepercayaan terhadap al-Quran sebagai kitab suci dan pedoman dasar dalam kehidupan adalah final dan menjadi salah satu dasar keimanan umat Islam. Kalau menggunakan teori hermeneutika untuk mengkaji al-Quran, maka sama dengan menjadikan al-Quran sebagai sebuah teks tanpa konteks apapun.
Begitu pula gagasan hermeneut yang mengatakan bahwa pengarang tidak mempunyai otoritas atas makna teks, tapi sejarah yang menentukan maknanya juga tidak mungkin diaplikasikan pada al-Quran. Seluruh umat Islam sepakat bahwa otoritas kebenaran al-Quran tetap dipegang oleh Allah SWT sebagai penciptanya. Realita juga menunjukkan bahwa Allah melalui al-Quran justru mengubah sejarah, bukan dipengaruhi atau ditentukan oleh sejarah. Diantara pengaruh al-Quran adalah fakta bahwa al-Quran telah melahirkan sebuah peradaban baru yang disebut sebagai “peradaban teks” (hadarah al-nash). Al-Quran sebagai sebuah kitab suci yang terjamin keotentikan dan keabadiannya senantiasa menghiasi setiap corak perubahan kehidupan dan peradaban sepanjang masa tanpa dirinya ikut berubah. Al-Quran yang ada di hadapan kita saat ini dan nanti sama dengan al-Quran pada waktu masa dahulu dan nanti, karena Allah telah menjamin keaslian dan keotentikannya. Itulah yang membedakan al-Quran dengan teks-teks lain, termasuk Bible.
Tradisi hermeneutika dalam Bible memang memungkinkan. Terdapat berbagai macam Bible dan tiap-tiap Bible ada pengarangnya. Tapi apakah teks al-Quran beraneka ragam seperti Bible dan ada pengarang al-Quran selain Allah? Al-Quran berbeda dengan Bible, karena itu metode hermeneutika yang diaplikasikan pada Bible tidak mungkin digunakan dalam al-Quran. Bible diliputi serangkaian mitos dan dogma yang menyesatkan. Hal tersebut yang memicu digunakannya hermeneutika terhadap Bible. Sedangkan al-Quran itu pasti dan terjaga status keasliannya. Begitu pula sejarah dan tradisi tafsir al-Quran. Karena al-Quran diciptakan oleh dzat yang maha sempurna dan ditafsirkan oleh makhluk yang penuh keterbatasan, maka tidak akan pernah ada kata sempurna tentang penafsirannya. Namun yang perlu ditekankan adalah bahwa meski telah banyak ditafsirkan oleh berbagai mufassir yang berbeda latar belakang sosial dan budaya mulai dari masa sahabat sampai sekarang, mereka tetap berpegang pada kaidah-kaidah penafsiran yang disepakati sebagai pedoman pokok.

C. Kesimpulan
Ilmu tafsir sebagai metode mempelajari dan memahami al-Quran masih tetap relevan digunakan untuk memahami dan mencari makna al-Quran. Al-Quran dan ilmu tafsirnya tetap sesuai dan dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan baik pada masa silam, sekarang maupun nanti. Adapun hermeneutika tidak sepatutnya diaplikasikan untuk memahami kandungan makna al-Quran yang sebenarnya, terlebih untuk menggantikan posisi ilmu tafsir yang sudah mapan dalam studi Islam.
Al-Quran adalah final, tetap dan tidak akan pernah berubah. Keotentikannya tetap terjaga hingga akhir zaman. Berbeda dengan Bibel yang tidak final dan selalu berubah-ubah. Terdapat beraneka ragam versi Bibel dan bahasa yang digunakannya, karena itu hermeneutika diperlukan untuk mengetahui makna asalnya. Tren dikalangan modernis Islam khususnya di Indonesia yang mengadopsi hermeneutika sebagai alternatif tafsir al-Quran adalah absurd. Kritik dan tentangan mereka pada ilmu tafsir pada hakikatnya tak lain adalah bukti ketidakmampuan mereka menangkap konsep tafsir dan tafaqquh dalam tradisi intelektual Islam. Kecenderungan mereka mengaplikasi hermeneutika dalam kajian al-Quran tidak disertai dengan pemahaman terhadap hal-hal yang metafisik dan epistimologis yang mendasarinya. Mereka tampaknya juga tidak memahami konsep realitas dan kebenaran teori hermeneutika serta membandingkannya dengan konsep ilmu tafsir. Akhirnya, masih banyak aspek yang perlu digali dan dipelajari oleh umat Islam tentang tafsir al-Quran, daripada mengadopsi dan memodifikasi hermeneutika dalam memahami al-Quran.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Filsafat Ilmu

0 komentar
A. PENDAHULUAN
Kebudayaan manusia dewasa ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang teramat cepat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari peran dan pengaruh pemikiran filsafat Barat. Pada awal perkembangan pemikiran filsafat Barat pada zaman Yunani kuno, filsafat identik dengan ilmu pengetahuan. Artinya, antara pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan pada waktu itu tidak dipisahkan. Semua hasil pemikiran manusia pada waktu itu disebut filsafat. Pada abad pertengahan terjadi perubahan, filsafat pada zaman ini identik dengan agama, artinya pemikiran filsafat pada waktu itu menjadi satu dengan dogma Gereja (Agama). Munculnya Renaissans pada abad ke-15 (lima belas) dan Aufklaerung di abad ke-18 (delapan belas) membawa perubahan pandangan terhadap filsafat. Filsafat memisahkan diri dari agama, orang mulai bebas mengeluarkan pendapat tanpa takut dihukum oleh Gereja. Sebagai kelanjutan dari zaman Renaissans, filsafat pada zaman modern tetap sekuler, namun sekarang filsafat ditinggalkan oleh ilmu pengetahuan. Artinya ilmu pengetahuan sebagai “anak-anak” filsafat berdiri sendiri dan terpecah mejadi berbagai cabang. Cabang-cabang ilmu berkembang dengan cepat, bahkan memecah diri dalam berbagai spesialisasi dan sub-spesialisasi pada abad ke-20 (dua puluh).
Perbincangan mengenai filsafat ilmu baru mulai merebak di awal abad ke-20 (dua puluh), namun Francis Bacon dengan metode induksi yang ditampilkannya pada abad ke-19 (sembilan belas) dapat dikatakan sebagai peletak dasar filsafat ilmu dalam khasanah bidang filsafat secara umum. Sebagian ahli filsafat berpandangan bahwa perhatian yang besar terhadap peran dan fungsi filsafat ilmu mulai mengedepan tatkala ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dalam hal ini, ada semacam kekhawatiran dikalangan para ilmuwan dan filsuf, termasuk juga kalangan agamawan, bahwa kemajuan Iptek dapat mengancam eksistensi umat manusia, bahkan alam beserta isinya.
Para filsuf terutama melihat ancaman tersebut muncul lantaran pengembangan Iptek berjalan terlepas dari asumsi-asumsi dasar filosofisnya seperti landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang cenderung berjalan sendiri-sendiri. Untuk memahami gerak perkembangan Iptek yang sedemikian itulah, maka kehadiran filsafat ilmu sebagai upaya meletakkan kembali peran dan fungsi Iptek sesuai dengan tujuan semula, yakni mendasarkan diri dan concern (perhatian) terhadap kebahagiaan umat manusia, sangat diperlukan.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian
a. Filsafat
Sebelum kita membahas secara detail, alangkah baiknya kita mengetahui pengertian dari masing-masing lafad. Filsafat Ilmu terdiri dari dua pokok lafad, masing-masing mempunyai orientasi dan objeknya. Sehingga menggabungkan keduanya berarti menggabungkan dua bentuk yang sama-sama mempunyai arti tersendiri.
Filsafat secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu Philosophia. Philos artinya suka, cinta, atau kecendrungan pada sesuatu, atau philia = persahabatan, cinta, love, dsb . Sedangkan Sophia artinya kebijaksanaan. Dengan demikian secara sederhana filsafat dapat diartikan cinta atau kecendrungan pada kebijaksanaan, cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian Sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu Sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian, pengrajin, dan bahkan kecerdikan dalam memutuskan soal-soal praktis. Menurut literatur yang lain, kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab (فلسفة).
Secara terminology adalah arti yang dikandung oleh istilah filsafat, dikarenakan batasan dari filsafat itu banyak, maka sebagai gambaran perlu diperkenalkan beberapa batasan.
1). Plato, berpendapat: filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran asli.
2). Aristoteles, filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat keindahan)
3). Al-Farabi, ialah ilmu tentang hakikat, bagaimana alam maujud sebenarnya.
4). Rene Descartes, ialah kumpulan semua pengetahuan di mana tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
5). Hasbullah Bakry, adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan juga manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya, sejauh yang dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
6). Pendapat umum ialah pengetahuan tentang kebijaksanaan, prinsip-prinsip mencari kebenaran, atau berpikir rasional-logis, mendalam dan bebas (tidak terikat dengan tradisi dan dogma agama) untuk memperoleh kebenaran.
Dengan memperhatikan batasan-batasan yang tentunya masih banyak yang belum kami cantumkan, tapi semua itu menurut hemat penulis bisa ditarik kesimpulan, bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Filsafat tidak mempersoalkan gejala-gejala atau fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dari suatu fenomena.

b. Ilmu
Dilingkungan pendidikan, sosial, masyarakat, kampus, baik pedesaan maupun perkotaan. Istilah ilmu tidak asing lagi ditelinga kita, tampaknya telah menjadi kelaziman bahwa sebutan yang dipergunakan ialah “Ilmu Pengetahuan”. Seperti pada nama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan sebutan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) ataupun Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Pada perkembangan terakhir, begitu juga di negara kita telah ditambahkan istilah “Sains”, seperti pada ungkapan ”Sains dan teknologi”.
Walaupun setiap waktu diucapkan dan dari masa ke masa di ajarkan, namun tampaknya tidak ada pembahasan secara spesifik. Rupanya apa pengertian ilmu dengan sendirinya dipahami tanpa memerlukan keterangan lebih lanjut. Padahal kalau kita rumuskan dengan tepat dan cermat mengenai pengertian ilmu, barulah kita akan sadar bahwa hal itu tidaklah mudah. Hal ini sebetulnya sudah terlihat lazim, baik dari kalangan manapun. Dalam penyebutan istilah “Ilmu Pengetahuan” yang telah begitu lazim, sesungguhnya merupakan suatu penyebutan yang kurang tepat dan tidak cermat. Istilah “Ilmu Pengetahuan” merupakan suatu Pleonasme, yakni pemakaian lebih dari satu perkataan yang sama artinya, atau lebih dikenal dengan istilah “pemborosan kalimat”. Jadi, dalam mengucapkan kata “sains” cukuplah dengan perkataan “ílmu”, tanpa penambahan kalimat “pengetahuan”.
Dari segi maknanya, pengertian ilmu sepanjang yang terbaca dalam pustaka menunjuk pada sekurang-kurangnya tiga hal, yakni pengetahuan, aktivitas, dan metode. Dalam hal yang pertama dan ini yang terumum, ilmu senantiasa ber-arti pengetahuan (knowledge). Di antara para filsuf dari berbagai aliran terdapat pemahaman umum bahwa ilmu adalah sesuatu kumpulan yang sistematis dari pengetahuan (any systematic body of knowledge). Seorang filsuf yang meninjau ilmu, John G. Kemeny juga memakai istilah ilmu dalam arti semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantaraan metode ilmiah (all knowledge collected by means of the scientific method). Dalam kalangan ilmuwan sendiri umumnya juga ada kesepakatan bahwa ilmu terdiri atas pengetahuan. Ini terbukti dari batasan yang datang dari seorang ilmuwan:
(Ilmu menunjuk pertama-tama pada kumpulan-kumpulan yang disusun secara sistematis dari pengetahuan yang dihimpun tentang alam semesta yang melulu diperoleh melaui teknik-teknik pengamatan yang objektif. Dengan demikian, maka isi ilmu terdiri dari kumpulan-kumpulan teratur dari data.)
Demikianlah makna ganda dari pengertian ilmu. Tetapi pengertian ilmu sebagai pengetahuan, aktivitas, dan metode itu bila ditinjau lebih mendalam sesungguhnya tidak saling bertentangan. Bahkan sebaliknya, ketiga hal tersebut merupakan kesatuan logis yang mesti ada secara berurutan. Ilmu harus diusahakan dengan aktifitas manusia, aktifitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan pada akhirnya aktifitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Kesatuan dan interaksi diantara aktifitas, metode, dan pengetahuan yang boleh dikatakan menyusun diri menjadi ilmu, dapatlah digambarkan dalam suatu bagan sebagai berikut:
Menurut hemat penulis, bagan di atas memperlihatkan bahwa ilmu dapat dipahami dari tiga sudut, yakni ilmu dapat dihampiri dari arah aktifitas para ilmuwan atau dibahas mulai dari segi metode atau dimengerti sebagai pengetahuan yang merupakan hasil yang sudah sistematis. Pemahaman yang lengkap akan tercapai kalau ketiga segi itu diberi perhatian yang seimbang.
Jadi, beberapa paparan penulis di atas, tentang definisi filsafat maupun ilmu bisa disimpulkan tentang definisi “Filsafat Ilmu” melalui beberapa definisi yang telah dipaparkan oleh para ahli, di antaranya adalah:

1. dari Robert Ackermann, filsafat ilmu ialah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini yang dibandingkan dengan pendapat-pendapat lampau yang telah dibuktikan.
2. Lewis White Beck, ialah mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah, serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
3. Cornelius Benjamin, ialah merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan pra-anggapan-pra-anggapannya serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual.
4. May Brodbeck, Filsafat Ilmu ialah sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan, dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu.
5. Filsafat Ilmu ialah penyelidikan tentang ciri-ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
Filsafat ilmu erat kaitannya dengan filsafat pengetahuan atau epistemologi, yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk-bentuk pengalaman manusia, juga mengenai logika dan metodologi.
Pada masa Renaissance dan Aufklarung, ilmu telah memperoleh kemandiriannya. Sejak itu pula manusia merasa bebas, tidak terikat dengan dogma agama, tradisi maupun sistem sosial. Pada masa ini, perombakan terjadi secara fundamental di dalam sikap pandang tentang apa hakikat ilmu dan bagaimana cara perolehannya telah terjadi.
Filsafat ilmu sebagai kelanjutan dari perkembangan filsafat pengetahuan, adalah juga merupakan cabang filsafat. Ilmu yang objek sasarannya adalah ilmu, atau secara populer disebut dengan ilmu tentang ilmu.
Sejarah perkembangan ilmu memaparkan berbagai wacana yang berkembang diseputar temuan-temuan ilmiah sesuai dengan periodesasi-periodesasi. Setiap periode menampakkan kekhasannya masing-masing, sehingga perbandingan secara kritis antara satu periode dengan periode yang lain akan memperlihatkan kekayaan paradigma ilmiah sepanjang sejarah perkembangan ilmu. Kuhn bahkan menegaskan terjadinya revolusi sains yang didukung oleh penemuan paradigma baru dalam bidang ilmu tertentu, sehingga mampu mengubah pola pikir masyarakat. Sebagai contoh; pada zaman Yunani sampai abad pertengahan masyarakat masih berpegang pada pandangan Geosentris, yakni bumi sebagai pusat jagat raya. Namun setelah revolusi Copernicus, masyarakat mempercayai bahwa bukan bumi sebagai pusat jagat raya, melainkan matahari, sehingga terjadi pergeseran paradigmatis dari geosentris ke heliosentris.

2. Objek
Filsafat ilmu sebagaimana halnya dengan bidang-bidang ilmu yang lain, juga memiliki beberapa objek, sebagai penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Antara lain adalah ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

a. Ontologi
Ontologi menjelaskan mengenai pertanyaan apa, ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Sejak dini dalam pikiran Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan ontologis, sebagaimana Thales ketika ia merenungkan dan mencari apa sesungguhnya hakikat “yang ada” (being) itu, yang pada akhirnya ia mengambil kesimpulan, bahwa asal usul dari segala sesuatu (yang ada) adalah air.
Ontologi merupakan azas dalam menetapkan batas ruang lingkup wujud yang menjadi objek peneleahan serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika). Ontologi meliputi permasalahan apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan itu, yang tidak terlepas dari pandangan tentang apa dan bagaimana yang ada (being). Paham idealisme atau spiritualisme, materialisme, dualisme, dan pluralisme merupakan paham ontologis yang akan menentukan pendapat dan bahkan keyakinan kita masing-masing tentang apa dan bagaimana kebenaran dan kenyataan yang hendak dicapai oleh ilmu itu.
Louis O. Kattsoff membagi ontologi dalam beberapa bagian: ontologi bersahaja, ontologi kuantitatif, dan kualitatif, serta ontologi monistik. Dikatakan ontologi bersahaja sebab segala sesutau dipandang dalam keadaan sewajarnya dan apa adanya. Dikatakan ontologi kuantitatif karena dipertanyakan mengenai tunggal atau jamaknya dan dikatakan ontologi kualitatif juga karena berangkat dari pertanyaan; apakah yang merupakan jenis kenyataan itu?. Sedangkan ontologi monistik adalah jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya; keanekaragaman, perbedaan dan perubahan dianggap semu belaka. Pada gilirannya ontologi monistik melahirkan monisme atau idealisme dan materialisme.
Dari beberapa pertanyaan ontologi, telah melahirkan beberapa aliran filsafat. Misalnya perntanyaan:

Apakah yang ada itu (what is being)?
Dalam memberikan jawaban pada permasalahan ini lahir empat aliran filsafat, yaitu: monisme, dualisme, idealisme, dan agnotisme.
Bagaimanakah yang ada itu (how is being)?
Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi atau berubah-ubah? Dalam hal ini Zeno (490-530 SM) menyatakan, bahwa sesuatu itu sebenarnnya khayalan belaka. Pendapat ini dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitihead, bahwa alam ini dinamis, terus bergerak dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif.
Di manakah yang ada itu (where is being)?
Aliran ini berpendapat, bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kodrati, universal, tetap abadi dan abstrak. Sementara aliran materialisme berpendapat sebaliknya bahwa, yang ada itu bersifat fisik, kodrati, individual, berubah-rubah dan riil.
Menurut penulis, jangkauan ontologi sendiri terletak pada aspek pengalaman-pengalaman manusia itu sendiri. Dalam arti, apa yang diluar batas kemampuan akal itu bukan pembahasan ini, melainkan masuk pada ruang pengetahuan lain (agama). Seperti objek penelaahan yang berada dalam batas pra-pengalaman dan pasca-pengalaman.

b. Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal-muasal, metode-metode dan sahnya ilmu pengetahuan. Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang epistemologi:
1). Apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah datangnya sumber pengetahuan yang benar itu? Dan bagaimana cara mengetahuinya?
2). Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada dunia yang benar-benar diluar pikiran kita? Dan kalaupun ada, apakah kita bisa mengetahuinya?
3). Apakah pengetahuan itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari yang salah?
Secara umum pertanyaan-pertanyaan epistemologi menyangkut dua macam, yakni epistemologi kefilsafatan yang erat hubungannya dengan psikologi dan pertanyaan-pertanyaan semantik yang menyangkut hubungan antara pengetahuan dengan objek pengetahuan tersebut.
Epistemologi meliputi tata cara dan sarana untuk mencapai pengetahuan. Perbedaan mengenai pilihan ontologik akan mengakibatkan perbedaan sarana yang akan digunakan yaitu; akal, pengalaman, budi, intuisi atau sarana yang lain. Ditunjukkan bagaimana kelebihan dan kelemahan suatu cara pendekatan dan batas-batas validitas dari suatu yang diperoleh melalui suatu cara pendekatan ilmiah.
Secara garis besar terdapat dua aliran pokok dalam epistemologi, yaitu rasionalisme dan empirisme, yang pada gilirannya kemudian muncul beberapa isme lain, misalnya: rasionalisme kritis (kritisisme), fenomenalisme, intuisionisme, positivisme dan seterusnya.

c. Aksiologi
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu, sebagaimana kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materiil dan kawasan simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri-sendiri. Lebih dari itu, aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu ke dalam praksis.
Pertanyaan-pertanyaan aksiologi, menurut Kattsoff dapat dijawab melalui tiga cara:
1). Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif.
2). Nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologis namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.
3). Nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan, demikian ini disebut objektivisme metafisik.

3. Sumber
Filsafat dan ilmu yang dikenal di dunia Barat dewasa ini berasal dari zaman Yunani kuno. Pada zaman itu filsafat dan ilmu jalin-menjalin menjadi satu dan orang-orang tidak memisahkannya sebagai dua hal yang berlainan. Menurut konsepsi filsuf besar Yunani kuno Aristoteles , episteme adalah “ an organized body of rational knowledge with its peoper object “ (suatu kumpulan yang teratur dari pengetahuan rasional dengan objeknya sendiri yang tepat). Jadi, filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan rasional, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran atau rasio manusia.
Dalam pemikiran Aristoteles selanjutnya, episteme atau pengetahuan rasional itu dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Praktike (pengetahuan praktis)
b. Poietike (pengetahuan produktif)
c. Theoritike (pengetahuan teoritis)
Theoritike atau pengetahuan teoritis oleh Aristoteles dibedakan pula menjadi tiga kelompok dengan sebutan:
1). Mathematike (pengetahuan matematika)
2). Physike (pengetahuan fisika)
3). Prote philosophia (filsafat pertama)
Filfafat pertama (prote philosophia) adalah pengetahuan teoritis yang menelaah peradaan yang abadi, tidak berubah, dan terpisah dari materi. Aristoteles mendifisikannya sebagai “the science of first principles” (ilmu tentang asas-asas yang pertama). Semua pengetahuan lainnya secara logis mengandalkan atau berdasarkan ilmu ini. Oleh karena itu, ilmu ini dianggap sebagai Filsafat Pertama. Kemudian definisi ini diperlengkap menjadi “a science which investigates being as being, and the attributes which belong to this in virtue of its own nature” (suatu ilmu yang menyelidiki peradaan sebagai peradaan dan ciri-ciri yang tergolong pada objek ini berdasarkan sifat dasarnya ini).

4. Tujuan
Filsafat ilmu sebagai cabang khusus filsafat yang membicarakan tentang sejarah perkembangan ilmu, metode-metode ilmiah, sikap etis yang harus dikembangkan para ilmuwan secara umum mengandung tujuan-tujuan sebagai berikut:
a. Filsafat ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah. Maksudnya, seorang ilmuwan harus memiliki sikap kritis terhadap bidang ilmunya sendiri, sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap solipsistik, menganggap bahwa hanya pendapatnya yang paling benar.
b. Filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan. Sebab kecenderungan yang terjadi dikalangan para ilmuwan modern adalah menerapkan suatu metode ilmiah tanpa memperhatikan struktur ilmu pengetahuan itu sendiri. Satu sikap yang diperlukan disini adalah menerapkan metode ilmiah yang sesuai atau cocok dengan struktur ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya. Metode hanya sarana berfikir, bukan merupakan hakikat ilmu pengetahuan.
c.Filsafat ilmu memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan. Setiap metode ilmiah yang dikembangkan harus dapat dipertanggung jawabkan secara logis-rasional, agar dapat dipaham dan dipergunakan secara umum. Semakin luas penerimaan dan penggunaan metode ilmiah, maka semakin valid metode tersebut, pembahasan mengenai hal ini dibicarakan dalam metodologi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang cara-cara untuk memperoleh kebenaran.

C. KESIMPULAN
Filsafat merupakan sebuah ilmu yang telah lahir semenjak zaman Yunani kuno, berkembang dan tumbuh sampai zaman sekarang. Definisi secara umum, filsafat adalah pengetahuan tentang kebijaksanaan, prinsip-prinsip mencari kebenaran, atau berpikir rasional-logis, mendalam dan bebas (tidak terikat dengan tradisi dan dogma agama) untuk memperoleh kebenaran. Sedangkan yang dimaksud filsafat ilmu adalah ialah penyelidikan tentang ciri-ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Pada mulanya filsafat ilmu merupakan bagian utuh dari pada filsafat, namun setelah melewati beberapa periode, filsafat ilmu menjadi bagian tersendiri tapi masih termasuk bagian dari cabang filsafat.
Objek filsafat ilmu ada tiga, yaitu: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi lebih kepada hakikat sesuatu, epistemologi lebih cenderung pada metode dan aksiologi lebih spesifik kepada penerapannya.

D. DAFTAR RUJUKAN
1. Zainuddin, M. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta. Lintas Pustaka. 2006

2. Surajiyo. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta. Bumi Aksara. 2005.

3. Gie, The Liang. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta. Liberty Yogyakarta. 2000.

4. Mustansyir, Rizal & Munir, Misnal . Filsafat Ilmu. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2006.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Evolusi Qawaid al-Fiqh

0 komentar
A. Pendahuluan
Allah…
Keagungan, kekuasaan, kasih sayang, kesombongan, ampunan, selalu melekat dalam dzat-Nya. Sifat pemaaf, penolong, kesederhanaan, takkan pernah pudar dalam diri utusanNya, pembawa syafaat, panji-panji kebenaran yang selalu beliau emban. Takkan pernah terhapus tinta sejarah dari kehidupan umatnya, yang akan selalu terbayang akan kehadirannya (Nabi Muhammad SAW).
Qawaid al-Fiqh salah satu bagian cara istinbath al-ahkam, bukan berarti mengenyampingkan ilmu-ilmu yang lain. Paling tidak, fan ini banyak memberikan ruang yang lebih banyak dalam memberikan solusi. Sehingga urgensinya dalam memutuskan sebuah hukum sangat dominan, tak pelak fan ini diajarkan dalam dunia pesantren maupun akademis. Sesungguhnya ilmu ini merupakan bagian daripada ushul fiqh, setelah melewati beberapa periode, para ulama lebih spesifik dalam membagi bidang keilmuan, sehingga menjadi fan tersendiri.
Menggunakan qawaid dalam memecahkan sebuah kasus, merupakan langkah maju untuk menuju “pencerahan pemikiran”. Tidak sepantasnya sebagai umat Nabi Muhammad, kita hanya bisa berpangku tangan, menunggu orang lain menyelesaikannya. Pe;ajaran-pelajaran yang telah kita dapatkan bersama, melatih kita bagaimana kita berfikir secara metodologis, dimulai dari pelajaran ushul, qawaid, ma’ani al-Quran, tafsir dsb. Imam as-Syafi’I sebagai cendekiawan telah merumuskan beberapa kaidah yang berhubungan dengan fan ini, terbukti dengan lahirnya sebuah karangan yang fenomenal, dan tidak asing lagi ditelinga kita dengan nama “ar-Risalah”. Menarik sekali untuk dikaji, Kehendak untuk melakukan pembakuan cara-cara berpikir dalam fiqh lahir dalam situasi ketegangan antara pendukung hadits (naql) dan ra’y (‘aql, rasio), yakni antara pengikut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Imam Malik dinilai terlalu longgar berpegangan pada hadis (waktu itu kalangan Maliki menyebutnya “Sunnah”); sementara Abu Hanifah terlalu sering mengabaikan hadis demi ra’y. Misalnya sabda Rasulullah, “Penunggang kuda mendapat dua bagian, prajurit mendapat satu bagian”, namun oleh Abu Hanifah ditolak dengan mengatakan, “Aku tidak akan menjadikan bagian binatang lebih banyak daripada bagian seorang mukmin”. Rasulullah melakukan isy’ar (melukai punggung unta) sebelum menyembelih hewan kurbannya. Komentar Abu Hanifah, isy’ar adalah penganiayaan.
Kenyataan inilah yang kemudian mendorong salah seorang murid Imam Malik, Imam Syafi’I (150-204 H), menyusun satu metodologi hukum yang selain bisa mempertemukan kedua kubu di atas, juga menjadi pedoman dalam menarik kesimpulan hukum yang baku dari teks-teks suci agama. Sehingga pertentangan kedua kubu, yang melahirkan ekspresi kebebasan berpikir, bisa diredam sedini mungkin. Kita akan lihat sejauhmana Imam Syafi’i merumuskan dasar-dasar berpikir tersebut, yang oleh Fakhr al-Din al-Razi dibandingkan dengan posisi Aristoteles dalam bidang filsafat. Kalau Aristoteles berhasil merumuskan satu sistem filsafat dengan metodologi manthiq-nya (logika), demikian pula al-Syafi’i yang dianggap berhasil merumuskan cara-cara berpikir dalam agama dengan metodologi ushul fiqh-nya, seperti tertuang dalam master piece-nya “al-Risalah”.

B. Pembahasan
i. Pengertian
Sebelum kita memasuki pokok pembahasan, alangkah baiknya kita membahas Kaidah-kaidah Fiqh dari segi bahasa dan istilahnya terlebih dahulu. Karena elemen ini paling tidak bisa membantu kita berimajinasi konsep qawaid secara keseluruhan.
Kata-kata kaidah (قاعدة) menurut bahasa ialah pondasi rumah , pondasi-pondasi bangunan . Jamaknya adalah lafad Qawaid (قواعد), sebagaimana firman Allah:

“Artinya.. Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". (al-Baqarah; 127)

Dan juga mempunyai arti yang lain, yaitu adl-dlabith (الضابط). Yaitu sesuatu yang totalitas sejalan dengan beberapa divisi (bagian).
Sedangkan menurut istilah, ada beragam pendapat yang telah disampaikan oleh beberapa ulama. Antara lain:

1. menurut ulama ushuliyyin dan ulama nahwu
حكم كلي ينطبق علي جميع جزئياته لتعرف احكامها منه
“Hukum umum yang sejalan dengan beberapa divisi (bagian) agar mengetahui beberapa hukumnya”
Contoh yang diutarakan oleh ulama ushul ialah: “perintah bilamana disepikan dari beberapa qarinah (indikasi) maka berfaidah wajib”. Sedangkan menurut ulama nahwu ialah: “fa’il harus rafa’ dan maful bih harus nasab”.

2. komentar ulama fiqih ialah
حكم اغلبي ينطبق علي معظم جزئياته
“mayoritas hukum sejalan dengan sebagian besar divisi”
Contoh-contohnya dalam istilah undang-undang disebut dengan mabadi’ (مبادئ), jamak dari mabda’ (مبدأ).
Kata yang kedua ialah fiqh, menurut etimologi artinya paham, sedangkan menurut terminology ialah:
هو العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسبة من ادلتها التفصيلية
“mengetahui hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan yang diambil dari dalil-dalil secara terperinci “
Seperti perbuatan mukalllaf. Baik perbuatan anggota badan maupun batin, seperti hukum wajib, haram, mubah, sah atau tidaknya perbuatan itu. Jika disimpulkan ta’rif (devinisi) qawaid al-fiqh adalah:
اصول فقهية كلية في نصوص موجزة دستورية تتضمن احكاما تشريعية عامة في الحوادث التي تدخل تحت موضوعها
“Totalitas pokok-pokok fiqh dalam beberapa nash yang diresume berdasarkan undang-undang, yang memuat beberapa hukum syari’at secara global dalam beberapa peristiwa yang masuk dalam objeknya”

ii. Sumber
Sumber-sumber yang paling banyak dijadikan pijakan qawaid al-fiqh ialah interpretasi hukum-hukum fiqh ijtihady dan dari sumber pengambilan qiyas, untuk melegitimasi kaidah-kaidah ini dan bentuk-bentuk hukum, setelah adanya ketetapan para madzhab fiqh, seleksi, dan sistematisasi dasar-dasar dan dalil.

iii. Sekilas Historis
Ilmu kaidah-kaidah fiqh tidak disusun sekaligus sebagaimana undang-undang, yang bisa disusun dan dapat dibukukan oleh para ahli. Namun, penyusunan dan pembentukannya disusun secara bertahap, pada era keemasan Islam oleh para tokoh fiqh madzhab, karena mereka menilai pentingnya penggalian dalil-dalil nash syariat secara global, pijakan dasar-dasar fiqh, illat-illat hukum dan resolusi.
Intisari fiqh dalam kaidah-kaidah ini merupakan resolusi para imam mujtahid, mereka mengqiyaskan dan mencari titik temu antara illat. Dalam pada itu, sekalipun kaidah-kaidah ini belum tersusun secara global sehingga menjadi fan tersendiri, pada akhirnya dalam dekade akhir fan ini muncul sebagai ilmu pada tahun 300 H.
Sebagian besar kaidah-kaidah ini disusun dengan cara sirkulasi, dan modifikasi di tangan para tokoh fiqh madzhab tapi masih dalam ruang lingkup ta’lil (interpretation) dan istidlal (konklusi). Dalam kenyataanya, madzhab hanafi adalah madzhab pertama yang muncul diantara empat madzhab yang lain, para eksekutif madzhab ini merupakan orang yang pertama kali dalam meletakkan atau membangun dasar-dasar fiqh, terbukti dengan banyaknya para tokoh madzhab lain yang mengambil pendapat mereka. Meskipun belum sepenuhnya disusun secara baku sehingga menjadi literatur keilmuan. Sebagaimana imam as-Syafi’i berkata:

منْ أَرَادَ أَنْ يَتَبَحَّرَ فِي الْفِقْهِ فَلْيَنْظُرْ إلَى كُتُبِ أَبِي حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ
“Barang siapa ingin mendalami ilmu fiqh maka pelajarilah kitab-kitab imam Abi Hanifah”


Sebagaiman telah diriwayatkan oleh al-‘allamah Ibn Najim, dalam mukaddimah kitabnya –al-Asybah wa an-Nadlair- bahwa imam Aba Thahir ad-Dabbas telah mengumpulkan beberapa kaidah secara umum dari madzhab Hanafi, beliau hidup pada dua dekade, yaitu pada tahun 3 dan 4 H. Beliau telah banyak mengumpulkan beberapa kaidah dari madzhab Abi Hanifah, dengan sejumlah 17 kaidah. Aba Thahir merupakan salah satu orang yang buta, meskipun demikian beliau tidak patah semangat dalam menghafalkan dan mengulang-ulang setiap malam di masjid setelah semua orang turun dari masjid.
Ibn Najim pernah bercerita tentang Aba Sa’id al-Harawy as-Syafi’i, bahwa beliau pernah mengadakan perjalanan, tujuannya bertemu dengan Aba Thahir, setelah itu beliau menukil sebagian kaidah darinya, sejumlah 5 kaidah yang merupakan induk dan bangunan hukum syari’at. Kaidah-kaidah tersebut antara lain:

 الامور بمقاصدها
 الضرر يزال
 العادة محكمة
 اليقين لا يزال بالشك
 المشقة تجلب التيسير
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Abbasiyah, pembentukan & perkembangannya

0 komentar
A. PENDAHULUAN

Di balik kekuasaan akan lahir sebuah peradaban yang baru, dengan semua konflik yang terjadi telah menggambarkan bagaimana kehidupan seseungguhnya. Al-Qur’an sebenarnya telah banyak mencontohkan kehidupan-kehidupan pra-Islam, dari semua tonggak sejarah yang ada, semaksimal mungkin kita seharusnya mengambil hikmah dan pelajaran.

Kelemahan klasik dan khas dari kehidupan sosial orang-orang Arab, yang terlalu menekankan individualisme, semangat kesukuan, dan pertikaian, kembali menampakkan wujudnya. Ikatan persaudaraan berdasarkan iman yang telah dibangun oleh Rasulullah, untuk sementara waktu berhasil mengatasi perpecahan yang selalu membayang-banyangi kehidupan sosial masyarakat Arab, yang terdiri atas berbagai suku dan etnis. Namun seiring perjalanan waktu, pada periode Umayyah mulai longgar. Bahkan kendornya ikatan itu telah terjadi lebih dini yaitu pada masa Utsman ibn Affan, yang mulai menampakkan semangat keluarga dan sukunya masing-masing.[1]

Beribu-ribu nyawa dikorbankan hanya untuk memenuhi ambisinya, tak pelak meski telah memangku kekuasaan sekian abad pada akhirnya mereka juga akan binasa dan runtuh. Menyitir apa yang pernah dikatakan oleh Ben Anderson bahwa kekuasaan Orde Baru dibangun di atas tumpukan mayat. Namun sejarah membuktikan bahwa atas nama apapun, sebuah kekuasaan yang dibangun di atas penderitaan rakyatnya pasti akan tumbang dengan sendirinya.[2]

Namun, tidak bisa kita pungkiri, peradaban Islam telah lahir pada masa tersebut dengan berbagai bentuk kekurangan dan kelebihannya. Kejayaan Islam telah kita lewati, bernostalgia dengan kejayaan hanyalah sebuah ilusi belaka dan fatamorgana. Kejayaan akan abadi bilamana para pemimpinnya dalam setiap langkahnya diiringi dengan rasa iman dan takwa.[3]

Penulis sedikit menguraikan tentang isu-isu maupun propaganda Bani Abbas dalam menghancurkan kekuasaan Bani Umayyah, semoga makalah kecil ini, bisa menambah wawasan dan mengambil hikmah dari setiap kejadian. Amin….


B. PEMBAHASAN

Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim, golongan Syi'ah, dan kaum mawali (non-Arab) yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.


1. Koalisi dan Propaganda

Jatuhnya Dinasti Umayyah semakin terlihat, tatkala 3 (tiga) kelompok melakukan sebuah koalisi, yaitu kekuatan Syi’ah, Khurasan, dan Abbasiyah. Yang pada akhirnya kepentingan selanjutnya dimanfaatkan oleh kelompok terakhir. Koalisi ini dipimpin oleh Abu al-Abbas, cicit al-Abbas paman Nabi. Di bawah kepemimpinannya, Islam revolusioner bangkit menentang tatanan yang ada dengan menawarkan gagasan teokrasi dan janji untuk kembali kepada tatanan ortodoksi. Pada tanggal 9 Juni 747 pemberontak ini dimulai.

Selain kedua kelompok di atas, kekuatan destruktif lainnya mulai bergerak aktif. Keluarga Abbas mulai menegaskan tuntutan mereka untuk menduduki pemerintahan. Dengan cerdik, mereka bergabung dengan pendukung Ali, dengan mengusung isu, “pemerintahan berhak dipimpin oleh keluarga Hasyim”. Sambutan pihak koalisi (Syi’ah) semakin meyakinkan setelah menekankan bahwa sebagian besar keluarga Hasyim adalah keturunan Ali. Akan tetapi keluarga Abbas sendiri mengklaim anggota keluarga mereka sebagai keluarga Hasyim, cabang dari Quraisy, sehingga lebih dekat dengan keluarga Nabi daripada keluarga Umayyah.

Dengan memanfaatkan kekecewaan publik dan menampilkan diri sebagai pembela sejati agama Islam, para keturunan Abbas segera menjadi pemimpin gerakan anti Umayyah. Sebagai markas dan pusat propaganda, mereka memilih sebuah desa kecil di sebelah selatan Laut Mati, al-Mumaymah, yang kelihatannya terpencil dan jauh dari kedamaian dunia, tapi kenyataannya merupakan daerah strategis yang berdekatan dengan jalur kafilah, dan terletak di satu persimpangan rute para jamaah haji. Di sinilah berdiri sebuah panggung sejarah pertama dan paling nyata dari gerakan propaganda Islam politik.

Di bawah pimpinan Muhammad bin Ali al-Abbasy, gerakan Bani Abbas dilakukan dalam dua fase yaitu : 1) fase sangat rahasia; dan 2) fase terang-terangan dan pertempuran (Hasjmy, 1993:211). Selama Ali al-Abbasy masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia. Propaganda dikirim keseluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan yang merasa tertindas, bahkan juga dari golongan yang pada mulanya mendukung Bani Umayyah. Setelah Ali al-Abbasy meninggal dan diganti oleh anaknya, maka seorang pemuda Persia yang gagah berani dan cerdas bernama Abu Muslim al-Khusarany, bergabung dalam gerakan rahasia ini. Semenjak itu dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian dengan cara pertempuran.


2. Berdirinya Dinasti Abbasiyah

Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass (750-754). Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada hari kamis tanggal 3 Rabiul Awwal 132 H/30 Oktober 749 M dengan pengakuan publik yang diberikan di masjid kepadanya sebagai khalifah.[4] Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-1258 M (Syalaby,1997:44).

Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersamaan dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah. Orang-orang Abbasiyah juga tidak segan-segan membunuh keluarga Dinasti Umayyah yang dipelopori oleh jendral mereka yaitu Abdullah. Pada 25 Juni 750, ia mengundang jamuan makan 80 orang keluarga Bani Umayyah ke Abu Futhrus[5], kemudian menghabisi mereka ketika jamuan sedang berlangsung.

Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi. Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu :

a) Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat yang di sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa saat itu.

b) Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan zaman.

c) Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan oleh para kritikus.

d) Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di pelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa oleh karena hal-hal tertentu yang merasa tidak puas dengan syistem yang ada.

Sebelum daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3 (tiga) tempat yang menjadi pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman Nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari namanya Dinasti itu disandarkan). Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan. Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan secara terang-terangan dengan golongan Bani Umayyah.

Demikian pula dengan Khurasan, kota yang penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai warga yang bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung dengan kepercayaan yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah mendapatkan dukungan.

Ketika berhasil merebut kekuasaan, orang Abbasiyah mengklaim dirinya sebagai pengusung konsep sejati kekhalifahan, yaitu gagasan Negara teokrasi yang menggantikan pemerintahan sekuler Dinasti Umayyah. Dalam satu hal terdapat perbedaan yang sangat mendasar: Dinasti Umayyah terdiri atas orang Arab, sementara Dinasti Abbasiyah lebih bersifat internasional. Dinasti Abbasiyah merupakan kerajaan orang Islam baru, tempat orang Arab hanya menjadi salah satu unsur dari berbagai bangsa yang membentuk kerajaan itu. Disamping itu juga, terdapat perbedaan yang lain, untuk pertama kalinya dalam sejarah, kekhalifahan tidak dikaitkan dengan Islam.

Khalifah al-Saffah meninggal pada tahun 754 karena penyakit cacar air ketika berusia 30 tahun. Setelah itu digantikan oleh saudaranya, bernama “Abu Ja’far”, diberi julukan “al-Mansur”. Dialah khalifah terbesar Dinasti Abbasiyah, pemimpin sejati yang sebenarnya, meskipun ia bukan seorang muslim yang saleh. Sejak awal, dibangun gagasan bahwa kekuasaan selamanya harus dipegang oleh orang Abbasiyah, hingga diserahkan kepada Isa, sang juru selamat. Belakangan dikembangkan sebuah teori bahwa jika kekhalifahan ini runtuh, seluruh dunia akan kacau.

Pada 7 Oktober 775, al-Mansur meninggal dekat makah dalam perjalanan ibadah haji, ketika usianya lebih dari 60 tahun. Seratus liang kubur digali untuk menyamarkan makamnya didekat kota suci, dan ia dimakamkan disebuah tempat yang tidak bisa dilacak dan digali kembali oleh para musuhnya. Pengganti selanjutnya adalah khalifah al-Mahdi (775-785 M), istilah yang digunakan kaum Syi’ah untuk menggambarkan seorang pemimpin yang membangun era keadilan dan perdamaian.[6] Ia berusaha merebut hati kaum Syi’ah setelah pertumpahan darah yang dilakukan ayahnya saat ia memilih gelar ini.

Abbasiyah benar-benar menyadari ketidakpuasan yang mendorong hancurnya kekuasaan Umayyah dan menyadari bahwa mereka harus membuat konsesi dengan kelompok-kelompok antagonis. Walaupun mereka adalah orang Arab, kemenangan mereka mengakhiri kebiasaan lama, yakni memberikan status istimewa dalam imperium bagi orang Arab. Mereka memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Irak, menetap di Kufah dan kemudian di Baghdad. Ia berjanji memperlakukan semua provinsi secara adil dan tidak membiarkan adanya status khusus bagi kelompok etnis manapun.

Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh seorang wazir (perdana mentri) atau yang jabatannya disebut dengan wizaraat. Sedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu: 1) Wizaraat Tanfiz (system pemerintahan presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah. 2) Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabinet). Wazirnya berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan. Sedangkan Khalifah sebagai lambang saja. Pada kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal sebagai gubernurnya Khalifah (Lapidus,1999:180).

Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan yang bernama diwanul kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha Negara bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamul idary al-markazy. Selain itu, dalam zaman daulah Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul umara, baitul maal, organisasi kehakiman. Selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya.

3. Periodisasi[7]

Berdasarkan perubahan tersebut, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi 3 periode, yaitu :


a) Periode Pertama (750-847 M)

Pada periode ini, seluruh kerajaan Islam berada dibawah kekuasaan para khalifah kecuali di Andalusia. Adapun para khalifah yang memimpin pada periode ini sebagai berikut :

1) Abul Abbas as-Saffah (750-754 M)

2) Abu Ja’far al-Mansyur (754-775 M)

3) Abu Abdullah M. Al-Mahdi bin Al-Mansyur (775-785 M)

4) Abu Musa Al-Hadi (785-786 M)

5) Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid (786-809 M)

6) Abu Musa Muh. Al-Amin (809-813 M)

7) Abu Ja’far Abdullah Al-Ma’mun (813-833 M)

8) Abu Ishak M. Al-Muta’shim (833-842 M)

9) Abu Ja’far Harun Al-Watsiq (842-847 M)

10) Abul Fadhl Ja’far Al-Mutawakkil (847-861)


b) Periode kedua (232 H/847 M-590 H/1194 M)

Pada periode ini, kekuasaan bergeser dari sistem sentralistik pada system desentralisasi, yaitu ke dalam tiga negara otonom :

1) Kaum Turki (232-590 H)

2) Golongan Kaum Bani Buwaih (334-447 H)

3) Golongan Bani Saljuk (447-590 H)

Dinasti-Dinasti di atas pada akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa Khalifah Abbassiyah.


c) Periode ketiga (590 H/1194 M-656 H/1258 M)

Pada periode ini, kekuasaan berada kembali ditangan Khalifah, tetapi hanya di Baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya. Sedangkan para ahli kebudayaan Islam membagi masa kebudayaan Islam di zaman Daulah Abbasiyah kepada 4 masa, yaitu :

1) Masa Abbasy I, yaitu semenjak lahirnya Daulah Bani Abbasiyah tahun 750 M, sampai meninggalnya Khalifah al-Watsiq (847 M).

2) Masa Abbasy II, yaitu mulai Khalifah al-Mutawakkil (847 M), sampai berdirinya Daulah Buwaihiyah di Baghdad (946 M).

3) Masa Abbasy III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun (946 M) sampai masuk kaum Saljuk ke Baghdad (1055 M).

4) Masa Abbasy IV, yaitu masuknya orang-orang Saljuk ke Baghdad (1055 M), sampai jatuhnya Baghdad ke tangan Tartar di bawah pimpinan Hulako (1268 M).


C. KESIMPULAN

Daulah Abbasiyah merupakan lanjutan dari pemerintahan Daulah Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendirinya adalah keturunan Abbas, paman Nabi. Daulah Abbasiyah didirikan oleh Abdullah as-Safah. Kekuasaannya berlansung dari tahun 750-1258 M. Di dalam Daulah Bani Abbasiyah terdapat ciri-ciri yang menonjol yang tidak terdapat di zaman bani Umayyah, antara lain :

1. Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan Dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab.

2. Dalam penyelenggaraan negara, pada masa bani Abbas ada jabatan Wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.


D. RUJUKAN

Karya, Soekama. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta. Logos. 1996.

Al-Maududi, Abu A’la. Khilafah dan Kerajaan. Terj. Al-Baqir. Bandung. Mizan. 1984.

Armstrong, Karen. Islam Sejarah Singkat. Yogyakarta. Jendela. 2003

K. Hitti, Philip. History Of The Arabs. Jakarta. PT. Ikrar Mandiriabadi. 2006

www.Mr_’s BlogJust another Friendster Blogs weblog.com



[1] Philip K. Hitti. History Of The Arabs. 2006. Jakarta. PT. Ikrar Mandiriabadi. Hal 348

[2] http://come.to/indomarxist/Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal

[3] Q.S. al-Furqan: 74

[4] Philip K. Hitti. History Of The Arabs. 2006. Jakarta. PT. Ikrar Mandiriabadi. Hal 355

[5] Sebuah kuil kuno di sungai ‘Awja’ dekat Jaffa’.

[6] Karen Armstrong. Islam Sejarah Singkat. 2003. Yogyakarta. Jendela. Hal 64

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
 
Copyright © Begundal_Lokajaya